Kita patut mengapresiasi kinerja Pemerintah dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan sepanjang tahun 2020. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per November 2020, kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2019.
Pada tahun 2019 lalu, seluas 1,6 juta hektar hutan/lahan di Indonesia terbakar. Sementara di tahun 2020 ini hanya mendekati 300 ribu hektar hutan yang terbakar.
Namun perlu dikemukakan pertanyaan kritisnya adalah apakah penurunan drastis kebakaran hutan dan lahan ini murni karena membaiknya kinerja Pemerintah atau lebih karena faktor eksternal menyangkut cuaca sepanjang 2020 yang relatif bersahabat dan cenderung tidak memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan seperti tahun-tahun sebelumnya?
Pertanyaan ini patut dikemukakan mengingat sepanjang tahun 2020 Pemerintah disibukkan dengan upaya yang terus berlanjut sampai saat ini dalam menanggulangi bencana non alam, wabah COVID-19. Asumsinya alokasi sumber daya dan fokus Pemerintah akan lebih terkonsentrasi pada isu penanganan pandemi ketimbang penanganan karhutla.
Memang berdasarkan Perkiraan BMKG iklim 2020 tak sekering 2019. Umumnya, kemarau terjadi mulai April-Mei 2020, namun perlu ada kewaspadaan wilayah yang memiliki dua kali periode kemarau seperti Aceh dan Riau untuk kemarau pertama, pada Februari dan Maret.
Dengan prediksi ini, Kementerian LHK meyakini luas kebakaran hutan dan lahan tahun 2020 akan turun dibandingkan 2019. Dengan demikian menjadi jelas bahwa penurunan tingkat karhutla memang lebih karena faktor cuaca yang tidak mengalami kemarau ekstrim sepanjang 2020.
Perlu Tetap Evaluasi
Sekalipun secara keseluruhan terjadi penurunan drastis luasan hutan dan lahan yang mengalami kebakaran sepanjang 2020, Pemerintah Pusat dan Pemda perlu secara spesifik mengevaluasi kenapa pada beberapa daerah seperti di Aceh, Bengkulu, Papua Barat dan Yogyakarta justru terjadi peningkatan signifikan luasan kebakaran tahun 2020 dibanding tahun 2019.
Berdasarkan data SiPongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Provinsi Aceh pada tahun 2019 tercatat hanya 730 hektar hutan dan lahan yang terbakar namun pada tahun 2020 meningkat menjadi 1.078 hektar.
Sedangkan di provinsi Bengkulu pada tahun 2019 hanya 11 hektar namun pada tahun 2020 menjadi 221 hektar. Kemudian di Papua Barat pada tahun 2019 hanya 1.553 hektar, sedangkan pada tahun 2020 menjadi 5.716 hektar.
Sementara itu di Yogyakarta pada tahun 2019 hanya 23 hektar hutan dan lahan yang terbakar namun pada tahun 2020 menjadi 181 hektar. Padahal juga sejak tahun 2016 – 2018 di Yogyakarta sama sekali tidak pernah terjadi kebakaran hutan dan lahan. Pertanyaannya kemudian mengapa pada tahun 2019- 2020 justru terjadi peningkatan karhutla di Yogyakarta?
Begitu juga halnya patut dikritisi pada saat musim kemarau relatif belum masuk pada tahun 2021 ini mengapa di beberapa tempat seperti Aceh, Riau, Sumatera Barat, Kalimantan Barat dan beberapa provinsi lainnya sudah terjadi kebakaran hutan dan lahan yang serius.
Di Provinsi Aceh misal telah terjadi kebakaran hutan dan lahan seluas 375 hektar, Riau seluas 851 hektar, Sumatera Barat 282 hektar dan di Kalimantan Barat cukup tinggi angka kebakaran hutan dan lahan mencapai 1.268 hektar.
Padahal pada tahun 2015 lalu ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan di hampir seluruh pelosok Nusantara dan menjadi bencana terhebat pada tahun itu, Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa Pemerintah hanya butuh waktu 3 (tiga) tahun untuk menuntaskan masalah kebakaran hutan dan lahan.
Faktanya setelah selesai periode pertama (5 tahun) pemerintahan Jokowi dan saat ini sudah memasuki akhir tahun kedua periode kedua pemerintahannya, ternyata kebakaran hutan dan lahan masih terjadi.
Gugatan Hukum Karhutla
Bencana kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 seharusnya memang menjadi catatan penting bagi Pemerintah untuk sungguh-sungguh dalam mengatasi bencana tahunan yang senantiasa terjadi.
Bahkan koreksi sangat serius atas bencana karhutla tahun 2015 tidak hanya datang dari kalangan masyarakat sipil tetapi juga sudah dilegitimasi oleh institusi peradilan tertinggi yaitu Mahkamah Agung. Dalam putusannya MA menyatakan bahwa Pemerintah telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum karena lalai dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Kelompok masyarakat sipil di Kalimantan Tengah telah mengajukan gugatan warga atas lemahnya kinerja dan kelalaian Pemerintah dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan. Gugatan tersebut telah dikabulkan oleh Pengadilan Negeri dan telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi.
Namun sayangnya Pemerintah tidak berbesar hati mengakui kelalaiannya justru tetap mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung. Bahkan setelah dikalahkan oleh MA pun ternyata Pemerintah justru mengajukan upaya hukum luar biasa, Peninjauan Kembali (PK).
Sejatinya Pemerintah dapat berbesar hati menyadari kelalaiannya dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Seharusnya Pemerintah tak perlu ngotot untuk terus mengajukan upaya hukum. Sebab putusan pengadilan pun sesungguhnya tidaklah terlalu berat untuk dilaksanakan.
Dalam putusan perkara yang memenangkan kelompok masyarakat tersebut antara lain Pemerintah hanya dihukum untuk menjalankan perintah UU untuk membuat beberapa peraturan pemerintah sebagai turunan dari UU No.32 tahun 2009 tentang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, dengan melibatkan peran serta masyarakat.
Langkah hukum Pemerintah yang tetap melakukan upaya hukum termasuk upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) menunjukkan inkonsistensi komitmen Presiden Jokowi dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Padahal sebelumnya Presiden Jokowi sudah pernah menyampaikan pengakuan secara langsung akan kelalaian Pemerintah dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan khususnya yang juga masih terjadi pada tahun 2019.
Namun sayangnya terkait putusan yang telah menyatakan Pemerintah telah melakukan perbuatan melawan hukum dan mewajibkan beberapa hal yang sesungguhnya memang telah menjadi tugas dan fungsi pemerintahan terkait pengelolaan hutan dan lingkungan hidup, Pemerintahan Jokowi terkesan mengabaikannya.
Potensi Karhutla 2021
Pada tahun 2021 ini menurut perkiraan BMKG awal musim kemarau dimulai pada April 2021 dan akan mencapai puncaknya pada Agustus 2021. Untuk itu BMKG mengimbau masyarakat untuk mewaspadai kebakaran hutan dan lahan pada puncak musim kemarau tahun ini.
Tentu saja ini juga sekaligus menjadi peringatan bagi Pemerintah dan Pemda. Apalagi di tengah masih merebaknya Pandemi COVID-19. Konsentrasi para pihak terkait sudah pasti akan terbagi.
Untuk itu koordinasi dan sinergi Pemerintah dan Pemda dalam mencegah dan mengantisipasi merebaknya kebakaran hutan dan lahan sebagaimana tahun 2019 dan 2015 lalu yang membuahkan gugatan masyarakat terhadap Pemerintah perlu segera digesa.
Ketimbang sibuk membela diri dengan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, akan lebih baik kalau Pemerintahan Jokowi segera melaksanakan isi putusan pengadilan yang sesungguhnya sudah menjadi kewajiban, tugas dan fungsi pemerintahan dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Selain perintah untuk segera membuat beberapa Peraturan Pemerintah sebagai turunan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pemerintah juga diwajibkan untuk membentuk tim gabungan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Fungsi tim ini adalah untuk melakukan peninjauan ulang dan merevisi izin-izin usaha pengelolaan hutan dan perkebunan yang telah terbakar maupun belum terbakar berdasarkan pemenuhan kriteria penerbitan izin serta daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan provinsi lain rawan karhutla.
Selanjutnya melakukan penegakan hukum lingkungan perdata, pidana maupun administrasi atas perusahan-perusahaan yang lahannya terjadi kebakaran, serta membuat roadmap (peta jalan) pencegahan dini, penanggulangan dan pemulihan korban kebakaran hutan dan lahan serta pemulihan lingkungan.
Kita berharap kebakaran hutan dan lahan pada musim kemarau tahun 2021 ini dapat semakin diminimalisir. Salah satu dampak kesehatan bagi masyarakat adalah merebaknya infeksi saluran pernapasan (ISPA) karena bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan.
Merebaknya ISPA di tengah belum redanya wabah virus corona di Indonesia sudah barang tentu akan semakin memperparah kondisi kesehatan masyarakat.
****
Ditulis oleh: Zenwen Pador. Penulis adalah Advokat, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hukum Indonesia (eLSAHI) dan konsultan program SIAP-IFM KEMITRAAN. Artikel ini adalah opini penulis.
Artikel ini pernah tayang di Mongabay