Generasi Muda Masyarakat dan Perubahan Iklim

Foto: dok. KEMITRAAN

Jakarta, 30 September 2021 – Dengan norma hidup seiring dan cenderung menjaga kelestarian sumber daya alam serta keanekaragaman hayati, masyarakat adat merupakan garda terdepan dalam pemenuhan target Indonesia yang ingin menurunkan produksi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030 untuk mencegah krisis iklim.

Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) hutan adat di Indonesia telah berkontribusi menjaga karbon sebesar 32,7 Gigaton. Presiden Joko Widodo pada pidatonya di COP21 Paris menyatakan pelibatan masyarakat adat penting dalam mengatasi perubahan iklim karena hutan adat menyimpan 20 persen karbon hutan tropis dunia. Sayangnya, saat ini eksistensi mereka justru terancam, banyaknya upaya penjarahan sumber daya alam dan pengalihan fungsi hutan telah menyingkirkan hak-hak masyarakat adat.

Sebagai penjaga alam terbaik, suara masyarakat adat penting didengar oleh publik dan para pengambil kebijakan. Inilah yang mendorong KEMITRAAN berkolaborasi dengan Koprol Iklim (Komunitas Pemuda Pemudi Pro Keadilan Iklim) memfasilitasi diskusi virtual dengan anak muda perwakilan masyarakat adat yang telah memiliki inisiatif nyata dalam upaya penyadaran publik terkait krisis iklim yang diadakan tanggal 30 September 2021.

Roberto Yekwan dari Perkumpulan Papuan Voice mengatakan, “Masyarakat di Papua mencari makan di hutan. Selama ini orang Papua melindungi dan menyebut hutan dengan julukan ‘Mama’ yang berarti sumber kehidupan masyarakat. Tapi sejak masuknya perusahaan-perusahaan sawit, masyarakat sekitar menjadi tersisihkan.”

Roberto Yekwan dari Perkumpulan Papuan Voice

“Perusahaan-perusahaan tersebut datang dengan janji membangun sekolah dan lingkungan yang lebih baik, namun pada kenyataannya tidak. Masyarakat sekitar sendiri semakin terpinggirkan karena para pekerja bukan berasal dari Papua,” terang Roberto.

Kondisi yang dialami masyarakat adat Papua juga terjadi di belahan Indonesia lainnya, salah satunya Kalimantan. Di tengah posisi yang semakin terjepit, Sumarni Laman selaku Programming Committee Kalimantan International Indigenous Film Festival percaya pemuda mempunyai kekuatan besar dalam menanggulangi krisis iklim dan diskriminasi, salah satunya melalui film.

“Melalui film saya berusaha mengadvokasi dan mengampanyekan peran aktif pemuda adat dalam menjaga lingkungannya, misalnya dengan membuat dokumentasi kehidupan lokal masyarakat adat. Dengan kearifan lokal dan pengelolaan tradisional, kita akan mampu melindungi hutan,” terangnya.

Sumarni juga menyebut anak muda merupakan agen perubahan. “Saya percaya, kita anak muda dapat melakukan perubahan. Sekecil apapun hal yang kita lakukan pasti akan bermakna, yang terpenting kita tidak hanya diam,” kata Sumarni.

Selain dihadiri oleh Sumarni Laman dan Roberto Yekwan, hadir pula narasumber lain, yakni Kesiadi dari Barisan Pemuda Adat Nusantara Kalimantan Tengah, Muhammad Arman dari AMAN, dan Abimanyu Sasongko Aji dari KEMITRAAN. Webinar ini juga dihadiri lebih 70 peserta dari perwakilan adat dan media.

Muhammad Arman selaku Direktur Advokasi Hukum dan HAM AMAN menyebut perlunya memastikan hak masyarakat adat terpenuhi, salah satunya dengan melakukan pemetaan wilayah adat. Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat akan semakin mengoptimalkan upaya-upaya pencegahan terhadap perubahan iklim.

“Masyarakat adat adalah kunci mencegah perubahan iklim. Oleh karena itu, kita harus mengakui, melindungi hak masyarakat adat. Kolaborasi antar pemerintah, CSO, masyarakat khususnya anak muda seperti inilah satu-satunya jalan untuk bisa memperjuangkan hak-hak masyarakat adat,” ujar Arman.

Di akhir, Aji selaku Program Manager KEMITRAAN berharap kegiatan ini dapat mendorong pemerintah dalam meningkatkan pengakuan wilayah dan hak-hak masyarakat adat serta memberikan ruang dan kesempatan yang lebih luas bagi para pemuda adat untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang selalu peduli terhadap kelestarian alam guna memperkuat ketahanan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim.

Categories: Tak Berkategori