Peringatan Hari Pembela HAM International 2021 Stop Kekerasan Terhadap Pembela HAM di Indonesia!

Foto: Dok. iStock

Pada 9 Desember 1998 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkan Deklarasi Hak dan Tanggung Jawab dari Para Individu, Kelompok, Organ Masyarakat untuk Memajukan dan Melindungi Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental yang Diakui secara Universal. Deklarasi ini kemudian dikenal sebagai Deklarasi Pembela HAM dan secara garis besar memuat dua maklumat. Pertama, pengingat pentingnya pemenuhan hak terhadap setiap individu dan kelompok yang memperjuangkan HAM. Kedua, perintah kepada negara untuk melindungi setiap individu dan kelompok yang memperjuangkan HAM secara institusional dan administratif. Sayangnya, perlindungan terhadap Pembela HAM di Indonesia belum dilakukan secara menyeluruh. Hal ini karena UU 39/ 1999 tentang HAM dan beberapa peraturan sektoral lainnya belum beroperasi secara efektif dalam melindungi Pembela HAM dari berbagai serangan.

Faktanya, serangan kepada Pembela HAM kian meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2019 YPII mencatat Pembela HAM yang mengalami kekerasan mencapai mencapai 290 orang. Pada tahun 2020 Amnesty International mencatat 253 orang dan pada tahun 2021 jumlah korban mencapai 297 orang. Jika dilihat dari isu sektoral, sepanjang 2020 ELSAM mencatat ada 178 Pembela HAM di isu lingkungan yang mengalami kekerasan dan 2 diantaranya meninggal akibat pembunuhan. Sedangkan laporan periode Januari-Agustus 2021 menyebutkan sebanyak 95 korban individu dan kelompok mengalami ancaman dan kekerasan.

Jika dilihat dari bentuknya, ada beragam bentuk kekerasan dan ancaman yang terjadi pada Pembela HAM, mulai dari intimidasi, terror, kekerasan berbasis gender, pembunuhan, kriminalisasi, stigma, hingga serangan digital. Untuk serangan digital, SAFEnet mencatat 147 insiden serangan digital sepanjang 2020, puncak serangan terjadi saat penolakan Omnibus Law di bulan Oktober 2020. Sedangkan di tahun 2021 (per November), ada 120 insiden dengan puncak serangan terjadi pada bulan Mei yang menyasar aktivis anti korupsi dari Indonesia Corruption Watch dan mantan anggota KPK yang dipecat karena tidak lulus TWK. Sementara itu upaya kriminalisasi juga terus terjadi terhadap Pembela HAM, kasus terbaru yang menjadi sorotan publik adalah kasus Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar juga jurnalis Asrul di Palopo. Ada juga kekerasan fisik yang dialami oleh jurnalis Nurhadi di Surabaya dan teror dengan bahan peledak yang diarahkan pada keluarga Pembela HAM, Veronica Koman.

Situasi perlindungan dan keamanan Pembela HAM yang semakin buruk tersebut tak luput dari dominasi kebijakan ekonomi politik pemerintah (seperti Proyek Strategis Nasional) yang sering kali mengabaikan HAM dan melanggengkan serangan kepada Pembela HAM. Dalam aspek regulasi, UU ITE dan berbagai pasal karet menjadi hambatan bagi Pembela HAM. SAFEnet mencatat Pembela HAM justru dilaporkan oleh pejabat publik menggunakan UU ITE atas dasar hasil penelitian yang diuraikan ke publik, juga LBH Pers mencatat jurnalis dilaporkan (menggunakan UU ITE) atas berita yang dipublikasikannya. Sementara itu dari segi aktor pelaku penyerangan, Komnas HAM mencatat bahwa Kepolisian menjadi pihak yang sering diadukan sebagai pelaku dalam kasus pelanggaran HAM[1].

Di sisi lain, ada praktik baik yang dilakukan oleh pemerintah, yakni penetapan Hari Pembela HAM Nasional pada 7 September oleh Komnas HAM yang diharapkan mampu menjadi sarana edukasi bersama di level pemerintahan agar lebih menghormati dan memenuhi hak-hak Pembela HAM. Juga  Majelis Hakim di Bangka Belitung yang mengaplikasikan anti-SLAPP (Strategic Litigation Against Public Participation) yang ada dalam pasal 66 UU 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam kasus kriminalisasi yang terjadi pada 6 Pembela HAM.

Namun kemudian mekanisme anti-SLAPP ini bisa diperkuat lagi dengan menghentikan SLAPP sedini mungkin, selain itu, anti-SLAPP dalam pembelaan HAM secara umum menjadi penting untuk diadopsi dalam Revisi UU 39/1999 Tentang HAM agar perlindungan kepada Pembela HAM terhadap serangan hukum menjadi lebih utuh. Tak luput juga Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal-Pasal Tertentu dalam UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) harus diimplementasikan secara lebih tegas untuk mengerem laju kasus kriminalisasi terutama di tingkat penyidik dan kejaksaan agar lebih selektif dalam menilai sebuah tindak pidana.

Berdasarkan uraian tersebut dan bertepatan dengan hari Pembela HAM Internasional, kami dari Koalisi Pembela HAM mendesak:

1.   Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin mewujudkan perlindungan dan keamanan bagi Pembela HAM

2. DPR-RI meneguhkan komitmen dan janji politik untuk melakukan revisi UU HAM No.39/1999 dalam Prolegnas 2022 dengan memasukkan ketentuan perlindungan pada Pembela HAM.

3. Pemerintah dan DPR-RI melakukan Amandemen pada UU ITE dan mencabut pasal karet di berbagai Undang-undang yang seringkali digunakan sebagai alat mengkriminalisasi Pembela HAM

4. Aparat penegak hukum khususnya Kepolisian dan Kejaksaan menerapkan prinsip anti-SLAPP dalam penanganan perkara Pembela HAM

5.  Komnas HAM segera melakukan diseminasi SNP No. 6 tentang Pembela HAM ke seluruh jajaran Kementerian dan Kelembagaan serta menerbitkan revisi Peraturan Komnas HAM No. 5 tahun 2015 tentang Prosedur Perlindungan Pembela HAM juga mempercepat penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap Pembela HAM;

Jakarta, 9 Desember 2021

Koalisi Pembela HAM

Amnesty International Indonesia – ELSAM – Greenpeace – ICEL – Imparsial – Institute for Women’s Empowerment – Kemitraan – LBH Pers – SAFEnet – YLBHI – Yayasan Perlindungan Insani Indonesia

[1] https://nasional.kompas.com/read/2021/10/04/13395301/komnas-ham-sebut-polri-jadi-institusi-dengan-aduan-dugaan-pelanggaran-ham

Categories: Tak Berkategori