Berkah dan Kutukan Sumber Daya Alam di Indonesia

Foto: Dok. Kemitraan

17 Desember 2021 – Indonesia digadang-gadang sebagai negara super power dalam perubahan iklim karena memiliki modal untuk menyelamatkan dunia dari pemanasan global. Luhut Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, menyatakan bahwa Indonesia memiliki lahan gambut seluas 7,5 juta ha, mangrove 3,1 juta ha dan hutan seluas 180 juta ha yang memberikan kontribusi besar terhadap penyerapan emisi karbon dunia1. Dengan luasan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam perdagangan perdagangan karbon dunia, jika dikelola dengan baik. 

Namun kekayaan alam yang sangat besar ini keberadaannya terancam oleh korupsi di bidang SDA (sumber daya alam) yang semakin merajalela. Studi KPK mengungkapkan bahwa hampir 3 juta hektar hutan alam telah ditebangi secara ilegal untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit, meskipun area ini masih terdaftar sebagai hutan alam oleh pemerintah. Sebagai hasil dari penebangan legal dan ilegal, Indonesia memiliki salah satu tingkat deforestasi tertinggi di dunia2.

Salah satu penyebab hilangnya keanekaragaman hayati dan habitat fauna dan flora endemik adalah karena perkebunan besar sering terletak di dalam taman nasional. Selain itu, korupsi SDA menyebabkan sumber-sumber tanah dan air tercemar sehingga mengancam kehidupan masyarakat sekitarnya. 

Secara finansial, korupsi SDA memiliki angka kerugian yang fantastis. Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), korupsi di sektor sumber daya alam telah menyebabkan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp 6,03 triliun pada 2019. Dari jumlah tersebut, Rp 5,9 triliun di antaranya berasal dari korupsi terkait empat kasus pertambangan. Angka ini lebih besar dari gabungan kerugian akibat korupsi di sektor perbankan, transportasi, pemerintahan, dan jasa pemilu, empat bidang lain yang dikaji ICW3. 

Korupsi di bidang SDA mendapat perhatian yang serius dalam penyelenggaraan konferensi internasional anti-korupsi, Conference of the States Parties to the United Nations Convention Against Corruption, yang diadakan di Sharm El Sheikh, Mesir, tanggal 13-17 Desember 2021. Sebagai salah satu anggota UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) Coalition, KEMITRAAN turut berpartisipasi dalam panel berjudul Environmental Corruption as a Roadblock to Reaching the SDGs yang dilaksanakan tanggal 17 Desember 2021. Dalam panel tersebut, Direktur Eksekutif KEMITRAAN, Laode M. Syarif hadir secara daring sebagai narasumber untuk berbagi tentang tantangan korupsi SDA di Indonesia. 

“Korupsi bidang SDA di Indonesia memiliki karakteristik berbeda dibandingkan kejahatan korupsi di sektor lain karena adanya dimensi persoalan struktural. Akar kejahatan korupsi SDA terjadi ketika sekelompok elit tertentu memiliki kekuasaan dan privilese untuk mendapatkan dan mengatur rente ekonomi SDA untuk kepentingan mereka. Korupsi sumber daya alam sering melibatkan high ranking public officials dan private sector kelas kakap. Big natural resources corruption selalu melibatkan aktor-aktor sampai di luar negeri sehingga lebih sulit ditindak,” ungkap Laode M. Syarif dalam sesi tersebut. 

Modus operandi yang sering digunakan pelaku korupsi SDA berupa pemberian suap agar diberi izin, pencucian uang, penggelapan, manipulasi pajak dan royalti serta  ketidakpatuhan atas atas undang-undang sektoral dan syarat-syarat perizinan. 

Menurut Laode, dari 10.000 lebih izin usaha pertambangan yang ada ketika dirinya menjabat sebagai komisioner KPK (2015-2019), ia menemukan sedikitnya 6.000an izin usaha pertambangan (IUP) tidak patuh terhadap semua ketentuan perizinan yang ditetapkan oleh undang-undang.

“Korupsi adalah bagian dari sistem yang kompleks dan dinamis. Mereka yang terlibat korupsi sumber daya alam selalu  belajar dari keteledoran para pendahulunya, sehingga transaksi suap-menyuap antara pengusaha dan pejabat publik sering dilakukan di luar yurisdiksi hukum Indonesia agar menyulitkan penegak hukum Indonesia. Intinya modus operandi korupsi sumber daya alam yang masif selalu sophisticated,”  tambah Laode.  

Meski sektor SDA merupakan sektor yang memiliki kelengkapan instrumen penegakan hukum yang memadai, dalam praktiknya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan di bidang ini tidak  berjalan efektif. Laode mengatakan bahwa penguatan dan harmonisasi regulasi dan peningkatan komitmen politik penegakan hukum SDA – LH (Lingkungan Hidup) sangat krusial. Penguatan dan harmonisasi instrumen hukum tersebut meliputi pemulihan lingkungan, pengembalian kerugian negara, pertanggungjawaban korporasi dan pengaturan konflik kepentingan. Oleh karena itu, kerjasama yang sungguh-sungguh antara Kementerian sektoral dan aparat penegak hukum (PPNS: GAKKUM KLHK, Kementerian ESDM, Kementan, KKP, POLRI, KEJAKSAAN, KPK dan PENGADILAN) harus bahu-membahu dalam menegakan semua pelanggaran hukum, agar tidak terkesan ada pembiaran bagi dunia usaha yang melanggar hukum, khususnya pada korporasi dan penerima manfaat (beneficial owners) dari korporasi-korporasi tersebut.

Selain itu melihat lihainya para pelaku korupsi SDA, maka kerjasama nasional dan internasional yang efektif adalah kunci keberhasilan dalam mencehah dan memberantas korupsi  SDA dan lingkungan hidup.” ujar Laode menutup diskusi.

1. https://katadata.co.id/happyfajrian/berita/5e9a4c495dcaf/luhut-sebut-indonesia-bisa-jadi-negara-superpower-tanpa-emisi-karbon

2. https://luchoffmanninstitute.org/natural-resources-corruption-indonesia/

3. https://betahita.id/news/lipsus/5776/pemberantasan-korupsi-di-sektor-kehutanan-pelajaran-dari-kpk-1-.html?v=1606863154

Categories: Tak Berkategori