“Merawat kopi dengan menanam beraneka pohon naungan, menjadikan kopi punya aneka citarasa yang berbeda, yang memberi nilai ekonomi lebih bagi petani kopi, tapi juga mampu mengembalikan fungsi hutan di wilayah. Bukan cuma menjaga hulu sungai Ciliwung, tapi juga habitat bagi owa Jawa, Elang Jawa hingga macan dahan. Agroforestri kopi menjadi bukti nyata konservasi sosial!” tutur Jumpono, selaku ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Cibulao Lestari, Puncak-Cianjur, di hulu Sungai Ciliwung.
Ia menegaskan, penanaman kopi di lahan konservasi bukan hanya memberikan manfaat bagi perekonomian masyarakat. Lebih dari itu, semua makhluk hidup turut merasakan hasil positifnya. “Ini mata rantai yang saling menguntungkan. Dengan keberadaan kopi di lahan konservasi tentu akan menyelamatkan kita dari berbagai bencana, menyelamatkan hewan-hewan di hutan, dan mengatasi permasalahan pemanasan global,” imbuhnya.
Jumpono mengenang pada 2002 saat pertama kali melakukan penanaman kopi di wilayah hutan sosial Cibulao, dirinya mendapatkan banyak tentangan dari masyasakat sekitar. “Di tahun 2000-an, orangtua saya membawa bibit cabutan robusta sekitar 50 pohon. Kemudian kami tanam di bekas lahan longsor di bawah pot kayu. Tujuan kami menanam saat itu supaya lahan tidak longsor dan tidak ada yang merusak lahan,” kata Jumpono. “Saat itu kami sekeluarga dicap orang gila. Karena di situ orang bertani sayur-mayur. Tapi kami hanya tanam kopi,” lanjut dia.
Namun demikian, dirinya membuktikan bahwa menanam kopi bukanlah hal yang sia-sia. Pada 2016, biji kopi yang ditanamnya memenangkan juara 1 nasional dalam kompetisi kopi kelas robusta. Sejak itulah masyarakat sekitar mulai berbondong-bondong menanam kopi di area hutan sosial mereka. Saat ini wilayah hutan sosial Cibulao yang seluas 610 hektare telah ditanami biji kopi. Setiap tahun pihaknya menghasilkan 20-30 ton kopi. “Insya Allah pada 2025 hingga 2030 kami akan mencapai puncak panen karena semua sudah tertanam dan 80% bisa produksi,” imbuh Jumpono.
“Tanaman kopi hanya membutuhkan 40% penyinaran matahari. Jadi butuh pohon penaung. Agar kebun makin produktif, kami tanami alpukat, jengkol, durian dan kayu-kayuan seperti sengon. Naungan yang cukup, memberikan kelembaban alami, sehingga buah kopi bisa tumbuh dan matang sempurna. Selain itu rasa kopi menjadi lebih beraneka,” timpal Fajar Sumantri, Koordinator Konsorsium Kota Agung Utara, Lampung. Wanatani kopi, menjadi solusi atas keterlanjuran hutan lindung yang telah dirambah dan digarap oleh masyarakat sekitar hutan berpuluh tahun lalu. Pola wanatani mampu mengembalikan fungsi hidrologi kawasan hutan dan menjadi habitat bagi hewan endemik sumatera.
Kisah yang sama juga dialami petani di Hutan Desa Labbo, Bantaeng. Fitriani, pendamping komunitas dari Balang Institute menuturkan, pola agroforestri kopi yang dikembangkan sejak 2004 mampu meningkatkan tutupan hutan, yang kala itu relatif gundul dan gersang. “Lalu pada masa itu kita melakukan pendampingan pada petani untuk menanam kopi. Karena kopi harus ditanam di bawah pohon, tutupan lahan di wilayah tersebut kemudian pada 2014 kembali hijau,” ucap Fitriyani. Balang bersama berbagai pihak dari akademisi, lembaga riset kemudian mendorong mereka untuk ajukan skema Hutan Desa. Jadilah Labbo sebagai penerima Hutan Desa pertama di Sulawesi Selatan. Pendampingan yang dilakukan dengan memetakan tataguna lahan, mampu memberikan kesadaran baru bagi petani kopi untuk menanam aneka pohon penaung kopi.
“Melakukan konservasi itu sangat bernilai. Pendampingan yang kami lakukan untuk memperbaiki lingkungan itu tidak bisa dinilai dari rupiah dan untuk menjamin makhluk-makhluk endemik sekitar hutan desa Labbo, seperti Tarsius, Kuskus, bahkan Anoa. Itu sangat luar biasa,” pungkas dia.
Geliat di bagian hulu usaha kopi ini ternyata sejalan dengan tren kopi mendatang. “Ada 3 tren global kopi ke depan. Konsumen dunia semakin paham dengan kopi specialty, kopi dengan kekhasan rasa dan aroma, kopi yang didukung sustainability, yang terjamin keberlanjutannya baik kuantitas dan mutu produknya tapi juga ketersediaan serta perawatan lahannya, serta ditunjang digitalisasi.” Hal itu diungkapkan oleh Abdul Aziz, General Manager Anomali Coffee.
“Sutainable coffee tentu akan berhubungan dengan konservasi. Bagaimana pun kopi yang ditanam di area konservasi memiliki kualitas dan cita rasa yang lebih baik,” lanjutnya.
Selain itu, ke depan kopi yang banyak dicari ialah jenis speciality coffee. “Konsumen kopi di seluruh dunia saat ini semakin cerdas, mereka semakin memahami banyak hal tentang kopi. Karenanya, mereka memilih kopi dengan kualitas baik yang memiliki cupping score di atas 80,” imbuhnya. Selanjutnya, ia memprediksi digitalisasi dalam dunia kopi akan semakin melejit pula. Untuk mengikuti tren yang akan berkembang, Anomali Coffee sudah memulainya sejak kini.
Dalam penyajian kopi kepada pelanggan, pihaknya bukan hanya mengedepankan rasa kopi yang enak. Namun, mereka juga membagikan pengalaman dari mana kopi tersebut berasal. “Dari sisi digitalisasi, tentu ke depan kami akan terus mengedukasi tamu untuk tahu kopi ini diambil dari mana, siapa petaninya, siapa yang roastingnya, dan sistem di hulu seperti apa,” tutur dia.
Edukasi konsumen kopi menjadi kata kunci, bahwa apa yang dicecap oleh penikmat kopi di hilir, punya konsekuensi terhadap konservasi lahan kopi di hulu. Pola wanatani kopi dipercaya memberikan nilai lebih bagi kopi khas Indonesia untuk terus mewarnai kopi dunia. Inilah wajah baru kopi Indonesia melalui konservasi sosial. Demikian penutup talkshow dalam “Agroforestry Community Hub : Kopi dan Konservasi” yang dipandu oleh Hasantoha Adnan dari Kemitraan.