Perempuan adat sejatinya memegang peran sentral dalam pembangunan. Mereka kerap menjadi penyambung suara bagi warga desanya agar proses pembangunan yang berlangsung tetap selaras dengan kelestarian alam yang mereka tinggali.
Berdasarkan data baseline yang dilakukan KEMITRAAN di tahun 2022 tentang kondisi perempuan adat di 7 provinsi di Indonesia, menunjukkan bahwa perempuan adat memiliki keterlibatan yang minim dalam komunitas adatnya, hal ini dikarenakan 53.91% masih dianggap tidak memiliki kapasitas dan 21.25% masih tingginya dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan.
Masyarakat adat pada dasarnya memiliki ketergantungan tinggi pada sumber daya alam. Hutan dan lingkungan sekitar merupakan ruang hidup yang menjamin keberlangsungan hidup mereka dan komunitasnya. Perempuan adat secara khusus, memiliki peran penting sebagai penjaga pengetahuan adat. Mereka mewarisi pengetahuan-pengetahuan adat yang diperoleh dari leluhurnya.
Ketidaksetaraan membuat mereka tersingkir dari proses pembangunan, terutama dalam menyuarakan pendapatnya. Tak jarang kondisi ini membuat mereka rentan pada sejumlah praktik kekerasan berbasis gender dalam komunitas hingga memiliki dampak ganda akibat persoalan iklim.
Persoalan-persoalan tersebut membuat posisi perempuan sebagai penjaga pengetahuan adat untuk menjalankan perannya dalam menjaga keberlangsungan hidup masyarakat desanya semakin tersingkir. Hal ini membuat peran mereka terbatas pada urusan domestik dan tidak memiliki hak suara dalam pengambilan kebijakan dalam pembangunan.
Karena itu, KEMITRAAN sebagai salah satu mitra pelaksana program KEMITRAAN Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif (Inklusi), berkontribusi pada penguatan peran perempuan dalam proses pembangunan, Hal itu juga menjadi tujuan pembangunan yang lebih luas yakni memastikan tak ada yang tertinggal dalam seluruh proses pembangunan.
“Melihat tantangan-tantangan tersebut, KEMITRAAN bersama 10 mitra lokal melakukan pendataan dan dokumentasi pengetahuan adat yang nantinya mendukung riset dan studi untuk kebijakan berbasis bukti,” ujar Widya Anggraini, Project Manager KEMITRAAN.
Serta membangun kesadaran di antara komunitas adat untuk menggunakan pengetahuan adat tersebut sebagai kekuatan, baik dalam mendukung ketahanan sosial maupun ekonomi komunitas. Dalam mendorong inisiatif ini menjadi pembelajaran bersama di tingkat internasional, KEMITRAAN pun berpartisipasi dalam Paris Peace Forum yang diselenggarakan pada tanggal 10-11 November 2023 di Paris, Prancis. Paris Peace Forum merupakan forum berbagi inisiatif dari sejumlah praktisi di seluruh dunia mengenai isu-isu sosial termasuk lingkungan hidup, perubahan iklim, dan isu gender.
Dalam forum ini KEMITRAAN mengambil topik terkait perempuan dan pertanian. Topik ini sejalan dengan fokus kerja KEMITRAAN dalam mendorong kemandirian perempuan adat melalui pemanfaatan sumber daya alam dalam mengatasi krisis pangan di komunitasnya.
Di salah satu wilayah intervensi KEMITRAAN di Desa Toro, Sigi, Sulawesi Tengah, Perempuan adat memiliki wewenang dalam merancang pekerjaan dalam pertanian. Di sana, perempuan adat juga kerap terlibat dalam penanganan konflik di kampung-kampung.
“Kami juga mengatur kerja-kerja pengelolaan sawah dan ladang, seperti menentukan kapan waktu tepat untuk panen,” ujar perempuan adat di Desa Toro, Rukmini.
Sama halnya di Desa Meurumba di Kabupaten Sumba Timur, yang kini mulai merasakan manfaat nyata pembangunan. Jika dulu pembangunan di sana hanya sebatas infrastruktur, kini sudah sampai pada pemenuhan kebutuhan detail warganya, khususnya dalam bertani.
Salah satu sosok penting dalam proses pembangunan itu ialah Rambu Bombu, perempuan penghayat kepercayaan Marapu di Kabupaten Sumba Timur. Rambu mengatakan dulunya pembangunan di Desa Meurumba hanya sebatas penyediaan infrastruktur. Padahal warga desa juga membutuhkan bantuan lainnya seperti pengadaan bibit dan alat-alat pertanian.
“Kami merasakan perubahan di mana perempuan adat ketika diberikan ruang serta peluang, terutama pelibatan dalam forum-forum diskusi hingga pengambilan kebijakan,” ujar Rambu yang juga fasilitator desa dan pendamping masyarakat adat di Desa Meurumba.
“Dari yang sebelumnya setiap keputusan musrembangdes hanya mengakomodir untuk urusan infrastruktur, kini sudah ada dukungan bibit dan alat-alat pertanian, seperti mesin potong rumput dan mesin pompa air untuk kegiatan pertanian dan ekonomi desa,” lanjut Rambu.
Kedua cerita di Desa Toro dan Desa Meurumba menjadi contoh bagaimana ruang setara bagi perempuan adat dapat memberikan jaminan rasa aman dan memaksimalkan peran perempuan sebagai penjaga pengetahuan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam untuk berkontribusi tidak hanya bagi keluarga, namun juga komunitasnya.
Berbicara perihal pangan tidak hanya berbicara soal komoditas, namun juga dilihat dari keberlangsungan hidup masyarakat. Hal ini tentu menjadi perhatian bersama karena perubahan iklim memiliki dampak ganda bagi perempuan adat.
Harapannya melalui Paris Peace Forum 2023 dapat membuka ruang jejaring yang lebih luas untuk mengangkat isu perempuan adat dalam menjawab tantangan krisis pangan yang dihadapi di banyak komunitas, terutama komunitas adat. Sebab menjaga pengetahuan adat tidak sebatas menjaga tradisi dan nilai-nilainya, namun juga keberlangsungan hidup saat ini serta generasi penerus di masa mendatang.