Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari bahwa selama berada di rumah Haji Tawang, tempat saya tinggal dan menumpang beberapa hari, saya telah mengalami dua dunia yang sama sekali berbeda dalam satu rumah. Dua dunia dengan logika kerjanya masing-masing: logika altruisme dan logika kapitalisme. Saya akan membahas cara kerja kedua logika ini, serta pengalaman singkat saya saat mengalami keduanya di lokasi masyarakat adat Bara.
Saya harus mengakui bahwa pengalaman pertama saya mengunjungi masyarakat adat Karaeng Bulu di Tanete Bulu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, adalah pengalaman romantik—meski penggunaan kata “romantik” bisa kita perdebatkan kemudian. Saya bertemu beberapa warga adat yang menyapa, menanyakan ke mana saya akan pergi, mengajak saya berkunjung ke rumahnya, dan menawari saya tempat istirahat dan air minum pelepas dahaga.
Di setiap kunjungan, tawaran-tawaran semacam itu selalu ada, dan di beberapa kali kunjungan, saya mengiyakan beberapa tawaran. Tidak perlu uang sepeserpun untuk mendapatkan semua itu dari mereka. Warga di desa, setidaknya yang saya temui di masyarakat adat Karaeng Bulu, selalu ulung dalam hal berbagi kebaikan tanpa mengharapkan imbalan: mengundang saya datang ke rumah mereka, menyediakan kopi, dan makan siang.
Semua hal romantik yang saya alami selama tinggal di wilayah masyarakat adat (sekali lagi, pemilihan kata “romantik” bisa kita perdebatkan) adalah bagian signifikan yang menyadarkan saya pada semangat kesukarelaan yang menjadi ciri khas masyarakat adat. Kesukarelaan sebagai nilai bersama yang menjadi landasan dari praktik keseharian warga adat, atau dalam istilah lain disebut sebagai altruisme, nilai yang menjadi lawan dari kapitalisme.
Semangat Kapitalisme
Ada beragam penjelasan yang bisa kita pakai untuk menjelaskan apa itu kapitalisme, tapi pada konteks tulisan ini, saya ingin merujuk kapitalisme sebagai suatu semangat. Sesederhana itu. Tapi jika kapitalisme harus dijelaskan, biasanya, kapitalisme dijelaskan sebagai suatu sistem hubungan kelas antara modal (kapital) dan kerja upahan di dalam produksi komoditi. Penjelasan lebih simpelnya: ada orang punya uang, membeli sesuatu dan menjualnya kembali kepada orang lain untuk mendapatkan keuntungan atau nilai-lebih. Keuntungan atau nilai-lebih itu digunakan lagi sebagai modal untuk mendapat keuntungan, dan seterusnya.
Kapitalisme, setidaknya, jenis kapitalisme sederhana, bekerja seperti penjelasan di atas. Meski misi utama kapitalisme sebetulnya tidak terletak pada reproduksi sederhana, tapi lebih dari sekadar itu. Misi utama kapitalisme adalah mengubah nilai-lebih atau keuntungan yang diperoleh untuk menjadikannya modal yang lebih besar, atau apa yang disebut oleh Karl Marx sebagai capital accumulation atau reproduksi dalam skala yang lebih besar.
Dalam reproduksi sederhana atau simple reproduction, keuntungan atau nilai-lebih digunakan dengan cara yang tidak produktif, sedangkan dalam pelipatgadaan modal atau capital accumulation, nilai-lebih diubah secara terus-menerus untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Inilah inti dari kapitalisme, tentang pelipatgandaan modal dan keuntungan. Efek dari logika kerja kapitalisme ini menuntut “keuntungan pribadi yang lebih besar”. Imbasnya, semangat kapitalisme membuat orang-orang fokus kepada bagaimana meraup keuntungan bagi diri mereka sendiri.
Semangat Kapitalisme vs. Altruisme Adat
Berbeda dengan logika kerja kapitalisme yang fokus pada kepentingan dan keuntungan yang lebih besar bagi diri sendiri, altruisme memusatkan perhatian pada kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan keuntungannya bagi diri sendiri. Membantu orang lain dan melakukan kebaikan tanpa memperhatikan imbalan adalah nilai utama dari altruisme. Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa ada tiga ciri utama dari sikap altruisme, di antaranya, mencintai orang lain atau loving others, membantu mereka atau helping them, dan mengapresiasi mereka atau making sure that they are appreciated. Pada akhirnya, semangat altruisme adalah semangat komunalistik yang menjunjung kepedulian terhadap orang lain.
Selama menetap di wilayah adat Karaeng Bulu, saya mengalami dua semangat itu, semangat altruisme dan kapitalisme, di dalam satu rumah, di rumah milik Haji Tawang sebagai pemilik satu-satunya “pabbalu ga’de-ga’de” (toko kelontong) di wilayah adat Karaeng Bulu. Suatu sore, ketika kami baru saja tiba di rumah itu, belum cukup dua-puluh menit, kami sudah diundang masuk ke dalam rumah untuk menyantap makanan sore, dan setelah makan, istri Haji Tawang menghidangkan kopi dan kue untuk kami. Semuanya dengan cuma-cuma. Apapun yang Haji Tawang dan keluarganya konsumsi, selalu ada bagian untuk saya, begitu seterusnya. Sekali lagi, secara bebas alias gratis.
Di rumah yang sama pula, di samping kanan teras rumah itu, ada ruang khusus milik Haji Tawang berjualan. Warga adat Karaeng Bulu mengenalnya dengan sebutan “ga’de-ga’de”. Apapun yang saya ambil di ruangan itu harus saya tukar dengan uang, hanya uang! Setiap dua kali sepekan, Haji Tawang dan istrinya berangkat ke pasar untuk membeli berbagai macam perlengkapan untuk dijual di ruangan itu, untuk mendapatkan keuntungan, tentu saja! Di ruang tertentu di rumahnya, saya berinteraksi dengan Haji Tawang dengan semangat altruistik, tapi di ruang yang lain, kami berurusan satu sama lain dengan semangat kapitalistik. Begitulah kehidupan yang mengupayakan keseimbangan agar tetap berjalan harmonis.
Penulis Andi Alfian, Mahasiswa CRCS UGM yang melakukan riset di Program ESTUNGKARA
Artikel ini telah tayang di Tribun Timur, 9 Januari 2023