Home / Publication

Empat Rekomendasi Agar Pemilu Inklusif dan Demokratis

KEMITRAAN tergabung dalam Kelompok Kerja Masyarakat Sipil untuk Identitas Hukum (Pokja Identitas Hukum). Pokja Identitas Hukum terbentuk karena memiliki perhatian serius pada upaya penguatan kependudukan dan pencatatan sipil khususnya untuk kelompok rentan, seperti masyarakat adat juga penyandang disabiltas. Sehubungan dengan momen penyelenggaraan Pemilu 2024 yang akan diselenggarakan pada 14 Februari, Pokja Identitas Hukum menyelenggarakan seminar berjudul “Peran Pelayanan Adminduk dan Data Kependudukan dalam Pemilu 2024”.

Pokja Identitas Hukum beranggotakan 8 organisasi masyarakat sipil dan juga akademisi, yaitu Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), KEMITRAAN (Partnership for Governance Reform), Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI), Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Asosiasi LBH APIK, Perkumpulan Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (PerCa Indonesia), Perkumpulan SUAKA, dan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LAKPESDAM PBNU).

Seminar ini dilaksanakan pada tanggal 6 Februari 2024 di Hotel Ashley, Gondangdia, Jakarta Pusat. Acara ini bertujuan sebagai ruang berdiskusi terkait pembelajaran penggunaan data kependudukan dalam proses Pemilu 2024, sehubungan dengan penguatan sistem demokrasi dan layanan administrasi kependudukan. Materi disampaikan oleh Nurul Amalia Salabi dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Dr. Handayani Ningrum S.E., M.Si dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil), dan Eddy Setiawan dari Insitut Kewarganegaraan Indonesia (IKI).

Perludem menjelaskan terkait optimalisasi penggunaan data kependudukan dalam proses Pemilu 2024. Sebagaimana ditekankan dalam monitoring Perludem, permasalahan utama terletak pada sektor DP4 (Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu). Data kependudukan yang akurat adalah kunci dari tidak adanya diskriminasi kelompok tertentu dan tidak boleh ada diskriminasi dalam regulasi. Dalam paparannya Nurul juga menyatakan terdapat setidaknya 4 persen masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih. Di antaranya adalah transgender karena tidak membawa atau tidak memiliki Kartu Keluarga (KK), disabilitas mental, dan masyarakat adat seperti yang tinggal dalam konservasi hutan.

“Berdasarkan data Dukcapil, jumlah penduduk yang tercatat berdasarkan NIK berjumlah 204.656.053 per Desember 2022,” tambahnya.

Paparan selanjutnya disampaikan oleh Dr. Handayani Ningrum S.E., M.Si dari Dirjen Dukcapil. Beliau menyatakan bahwa Dukcapil telah melakukan ‘jemput bola’ kepada penduduk terkait pencatatan dan pembaharuan data. Namun masih terdapat permasalahan di lapangan karena masyarakat tidak melaporkan peristiwa penting yang dialam, seperti menikah, pindah alamat, bercerai, dll, terlebih yang dialami oleh penduduk rentan seperti kelompok masyarakat adat, kaum miskin ekstrem, ODGJ, narapidana, disabilitas, dan transgender. Untuk diketahui, terdapat dua dimensi kewarganegaraan yakni status hukum dan praktik kewarganegaraan. Pencatatan sipil masuk dalam dimensi status hukum sebagai hak masyarakat Indonesia.

Adapun terkait hal ini, IKI menyoroti bahwa akan lebih efektif jika berbagai peristiwa kependudukan bisa terekam dengan sistem otomatis terindentifikasi dan terlaporkan ke dukcapil. Disarankannya sistem nasional ini menanggapi beberapa kekhawatiran terkait pencatatan sipil diluar 6 kategori disabilitas yang sebelumnya disampaikan, seperti warga negara asing (WNA) yang mendapatkan hak pilih.

Seminar ini dihadiri sekitar 90 peserta yang berasal dari CSO, akademisi, juga media. Diskusi berlangsung interaktif. Salah seorang peserta dari Komisi Nasional Disabilitas menyatakan bahwa belum semua penyandang disabilitas terdata dengan baik dalam sistem saat ini. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan yang luar biasa. Salah seorang peserta dari Suara Kita turut memberikan masukan juga supaya data-data yang dimiliki oleh pemerintah ini dimuktahirkan sehingga setiap warga negara dapat berpartisipasi dan memiliki haknya dalam Pemilu.

“Perlu pelibatan civil society terhadap sistem Dukcapil agar bisa menjadi mekanisme monitoring data dan membantu kerja-kerja Dukcapil,” terangnya.

Seminar nasional ini memberikan empat rekomendasi penting pelayanan Adminduk agar semakin inklusif sehingga mampu menyediakan data yang muktahir. Diantaranya adalah perlu ada undang-undang baru terkait kependudukan dan pencatatan sipil yang mencakup penguatan jaminan HAM dan penyelenggaraan layanan dalam bentuk sistem aktif oleh pemerintah. perlunya ada surat suara braille, perlu dibentuk banka data nasional disabilitas yang nantinya akan diberikan kartu penyandang disabilitas dengan melibatkan penyandang disabilitas sejak proses perencanaan, dan yang terakhir adalah perlu sistem pelaporan yang terintegrasi dan inklusif terkait pencatatan peristiwa penting kependudukan.

Pokja Identitas Hukum berharap ke depan penyediaan data yang baik dapat terealisasi sehingga setiap warga negara terlebih mereka yang rentan dan sulit mengakses dapat memperoleh haknya sebagai bagian dari warga negara Indonesia.

2016

Pada bulan Maret 2016, KEMITRAAN menerima akreditasi internasional dari Adaptation Fund. Dewan Adaptation Fund, dalam pertemuannya yang ke-27, memutuskan untuk mengakreditasi KEMITRAAN sebagai National Implementing Entity (NIE) dari Adaptation Fund. KEMITRAAN menjadi lembaga pertama dan satu-satunya lembaga Indonesia yang terakreditasi sebagai NIE Adaptation Fund di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

 

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

 

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

2000-2003

KEMITRAAN memainkan peran krusial dalam mendukung pengembangan undang-undang untuk membentuk KPK. Hal ini diikuti dengan langkah mendukung Pemerintah dan DPR dalam memilih calon komisioner yang kompeten dan juga mendukung kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi secara kritis proses seleksinya. Setelah komisioner ditunjuk, mereka meminta KEMITRAAN untuk membantu mendesain kelembagaan dan rekrutmen awal KPK, serta memainkan peran sebagai koordinator donor. Sangat jelas bahwa KEMITRAAN memainkan peran kunci dalam mendukung KPK untuk mengembangkan kapasitas dan strategi yang diperlukan agar dapat bekerja seefektif mungkin.

2003

Pada tahun 2003, KEMITRAAN menjadi badan hukum yang independen yang terdaftar sebagai Persekutuan Perdata Nirlaba. Pada saat itu, KEMITRAAN masih menjadi program yang dikelola oleh UNDP hingga akhir tahun 2009. Sejak awal tahun 2010, KEMITRAAN mengambil alih tanggung jawab dan akuntabilitas penuh atas program-program dan perkembangannya.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

This agreement was signed between Green Climate Fund (GCF) and PARTNERSHIP. This agreement formalizes KEMITRAAN’s accountability in implementing projects approved by the GCF.

For your information, the GCF is the world’s largest special fund that helps developing countries reduce greenhouse gas emissions and increase their ability to respond to climate change.

These funds were collected by the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) in 2010. The GCF has an important role in realizing the Paris Agreement, namely supporting the goal of keeping the average global temperature increase below 2 degrees Celsius.

2020

This agreement was signed between Green Climate Fund (GCF) and PARTNERSHIP. This agreement formalizes KEMITRAAN’s accountability in implementing projects approved by the GCF.

For your information, the GCF is the world’s largest special fund that helps developing countries reduce greenhouse gas emissions and increase their ability to respond to climate change.

These funds were collected by the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) in 2010. The GCF has an important role in realizing the Paris Agreement, namely supporting the goal of keeping the average global temperature increase below 2 degrees Celsius.

2016

In March 2016, KEMITRAAN received international accreditation from the Adaptation Fund. The Adaptation Fund Board, in its 27th meeting, decided to accredit KEMITRAAN as National Implementing Entity (NIE) from the Adaptation Fund. KEMITRAAN is the first and only Indonesian institution to be accredited as a NIE Adaptation Fund in Indonesia.

2003

In 2003, KEMITRAAN became an independent legal entity registered as a Non-Profit Civil Partnership. At that time, KEMITRAAN was still a program managed by UNDP until the end of 2009. Since the beginning of 2010, KEMITRAAN took over full responsibility and accountability for the programs and their development.

2000-2003

KEMITRAAN played a crucial role in supporting the development of legislation to establish the KPK. This was followed by steps to support the Government and DPR in selecting competent commissioner candidates and also supporting civil society groups to critically monitor the selection process. After the commissioners were appointed, they asked KEMITRAAN to help with the institutional design and initial recruitment of the KPK, as well as play the role of donor coordinator. It is clear that KEMITRAAN plays a key role in supporting the Corruption Eradication Commission to develop the capacity and strategies needed to work as effectively as possible.

1999-2000

The Partnership for Governance Reform, or KEMITRAAN, was founded in 2000 following Indonesia’s first free and fair general election in 1999. This historic election is an important step in Indonesia’s efforts to move away from an authoritarian past towards a democratic future. PARTNERSHIP was established from a multi-donor trust fund and is managed by United Nations Development Programme (UNDP) with a mandate to advance governance reform in Indonesia

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.