Home / Publication

Talkhow Hari HAM 2023: Perempuan Adat dan Hak Kelola Tanah

KEMITRAAN sebagai mitra Komnas HAM menyelenggarakan talkshow yang mengangkat tema “Perempuan Adat dan Hak Kelola Tanah” sebagai rangkaian acara peringatan hari HAM 2023. Acara yang diselenggarakan pada 8 Desember 2023 ini bertempat di Auditorium Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Republik Indonesia, Jakarta. Diskusi ini menjadi penting untuk membangun kesadaran publik akan pemenuhan hak perempuan adat dalam pengelolaan tanah yang menjadi ruang hidup. Perempuan adat memiliki peran penting dalam penjagaan pengetahuan adat dan pengelolaan sumber daya alam dikomunitasnya, namun perempuan adat juga menghadapi tantangan-tantangan berat dalam menjalankan perannya, seperti minimnya partisipasi perempuan dalam forum pembangunan, adanya praktik kekerasan berbasis gender, hingga persoalan iklim yang berdampak pada gagal panen.

Kegiatan ini mengundang pembicara yang merupakan bagian dari masyarakat adat yaitu Yarni Ijo, Kepala Desa Lonca dan Perempuan Adat To Kulawi, Sigi. Selain itu turut juga mengundang Budhis Utami dari KAPAL Perempuan, Gatot Ristanto sebagai perwakilan Komnas HAM, dan Ronna Nirmala dari Project Multatuli. Diskusi dimoderatori oleh Arif Nurdiansyah dari Kemitraan.

Diskusi diawali dengan penampilan Musik Tehyan oleh perempuan adat Cina Benteng. Tehyan merupakan sebuah alat musik yang berasal dari Cina. Alat musik ini seringkali dimainkan oleh masyarakat keturunan Tionghoa dipadukan dengan kesenian gambang kromong, lenong betawi, ataupun ondel-ondel. Komunitas Cina Benteng dari KWPS Lentera Benteng Jaya mulai mempelajari musik Tehyan dan memperkenalkannya kepada masyarakat luas sejak tahun 2018 untuk mendorong penerimaan sosial.

Pembicara pertama dalam diskusi adalah Yarni Ijo. Berdasarkan pengalaman Yarni Ijo, sebelumnya hanya ada sedikit perempuan yang hadir dalam Musrembang karena masih ada pemikiran bahwa perempuan tidak akan bisa memberi banyak kontribusi. Sejak ia menjabat sebagai Kepala Desa, hal itu kemudian diubah.

“Jika presentase perempuan belum mencapai 50% dalam Musrembang desa, saya tidak akan memulai Musrembang. Musrembang hanya akan dimulai ketika jumlah perempuan dan laki-laki setara, setengah-setengah,” ujar Yarni. Hal ini dilakukan agar perempuan terlibat dalam pembuatan keputusan untuk pembangunan di tingkat desa.

Yarni Ijo juga membahas mengenai keterlibatan perempuan adat To Kulawi dalam pengelolaan lahan di komunitasnya. Dalam masyarakat adat To Kulawi, perempuan memiliki wewenang untuk mengelola lahan, tradisi ini disebut dengan Pampa. Pampa adalah kearifan lokal yang juga mendukung ketahanan pangan komunitas. Perempuan adat di Desa Lonca secara turun temurun bergotong royong membersihkan, membuka dan menanami lahan Pampa dengan palawija. Manfaat ekonomi dari hasil pengelolaan Pampa kemudian bisa ditabung untuk kebutuhan biaya pendidikan anak.

Selanjutnya, diskusi dilanjutkan dengan pembahasan tentang kekuatan media untuk mendorong pemenuhan hak perempuan adat. Ronna Nirmala dari Project Multatuli mengungkapkan bahwa artikel-artikel dalam Jendela Perempuan Adat berusaha untuk mengupas relasi perempuan adat dan tanah. Media sudah seharusnya memberi keberpihakan pada perempuan adat.

Sehubungan dengan jaminan perlindungan negara untuk kepemilikan lahan komunitas adat, Gatot Ristanto dari Komnas HAM menyatakan bahwa peran negara dalam perlindungan, pemenuhan dan penghormatan HAM warga negara Indonesia termasuk masyarakat adat tercermin dalam produk-produk hukum sepertu UUD 1945 dan UU HAM. Sayangnya, hingga saat ini masih hanya ada 68 masyarakat adat yang diakui di Indonesia dari ratusan atau mungkin ribuan masyarakat adat. Pemenuhan HAM masyarakat adat juga masih kurang, ditunjukkan dari kekerasan dan kriminalisasi yang masih sering terjadi pada masyarakat adat.

“Regulasi mengenai hutan yang dikelola negara melarang siapapun untuk masuk ke dalam wilayah hutan itu, padahal masyarakat adat sudah hidup di wilayah itu bahkan sebelum negara terbentuk, mereka bergantung pada hutan, mereka makan dari hutan. Ruang hidup masyarakat adat kemudian terbatasi oleh HGU dan perusahaan. Konflik-konflik agraria muncul dari prioritas pembangunan, seperti kasus Mandalika, IKN, Rempang yang didalamnya ada masyarakat adat. Seharusnya masyarakat adat dilihat secara utuh. Pemberian rumah dan relokasi untuk mereka bukan solusi, terjadi pengabaian terhadap budaya mereka yang sangat berharga. Harus diminimalisir persoalan-persoalan ini agar hak dan eksistensi masyarakat adat tidak terganggu,” tambahnya.

Budhis Utami dari KAPAL Perempuan ikut berbagi tentang praktik baik Sekolah Perempuan sebagai ruang perempuan memperjuangkan hak kolektif. Dalam pemenuhan HAM, KAPAL menganalisis kelompok mana yang paling dibatasi dan yang paling merasakan dampak dan kerugian dari pembatasan itu. KAPAL mendorong kelompok perempuan itu untuk sadar bahwa mereka memiliki hak dan kedudukan yang sama di masyarakat.

“Yang harus dilakukan adalah memperkeras suara perempuan dan itu memerlukan keberanian. Misalnya perempuan adat harus bisa mempertanyakan peraturan adat yang tidak memberi ruang untuk suara perempuan, seperti saat pernikahan dimana keputusan besarnya mahar hanya ditentukan oleh tetua adat dan keluarga dari pihak laki-laki, atau bagaimana di tempat diskusi seperti gazebo, hanya diisi oleh laki-laki sementara perempuan duduk dibawah, di tanah, dan menyiapkan makanan saja. Lewat Sekolah Perempuan, kita dorong perempuan-perempuan itu untuk bisa terlibat dalam penyusunan APBDesa dan RPJMN Desa. Tantangan kita juga masih belum ada peraturan-peraturan tentang pernikahan dini dan kekerasan seksual, yang banyak menimpa perempuan, yang sampai pada tingkat desa,” tutur Budhis.

Menurut Budhis, dalam membicarakan tentang perempuan adat dan hak kelola tanah, penting juga untuk memperhatikan manfaat bagi perempuan itu sendiri. Ketika perempuan adat sudah mempunyai hak kelola tanah dan mampu melakukan kegiatan produksi, harus dilihat lagi manfaat yang dirasakan oleh dirinya sebagai perempuan, karena umumnya manfaat dari hak kelola tanah tersebut hanya difokuskan pada kepentingan keluarga atau anak. Hak kelola tanah harus dipastikan bisa dinikmati oleh perempuan dalam bentuk suaranya didengar atau perempuan bisa dengan bebas berpartisipas dalam forum maupun organisasi.

Diskusi ini menyimpulkan bahwa untuk mendorong pemenuhan dan perlindungan HAM masyarakat adat, setidaknya ada empat hal yang perlu diperkuat dan diperbaiki. Pertama, harus ada pengakuan atas masyarakat adat. RUU Masyarakat Adat yang sudah hampir 15 tahun dirancang perlu segera dirampungkan dan disahkan karena RUU ini sangat penting untuk mengakui hak-hak masyarakat adat. Kedua, perlu ada peningkatan kerjasama multistakeholder. Koordinasi antar lembaga untuk menangani persoalan masyarakat adat harus terus diperkuat. Ketiga, negara perlu meninjau ulang peraturan dan kebijakan yang ada terkait HAM dan masyarakat adat. Keempat, media harus ikut andil dalam memberi keberpihakan pada masyarakat adat. Media seyogyanya tidak hanya membicarakan tentang masyarakat adat ketika ada konflik, tetapi media juga harus meyakinkan publik bahwa masyarakat adat adalah bagian dari kita semua dan menjaga mereka adalah tanggung jawab kita bersama.

Setelah sesi diskusi selesai, kegiatan ditutup dengan penampilan stand-up komedi dari Rizky Teguh, finalis golden ticket Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) season 8 tahun 2018 yang diadakan oleh Kompas TV serta penampilan musik tehyan dari perempuan adat Cina Benteng.

Dengan terselenggaranya talkshow ini, diharapkan dapat  menjadi memicu kesadaran kritis publik atas situasi nyata yang dialami oleh perempuan adat bersangkutan dengan hak kelola tanah dan dapat memicu gerakan-gerakan baru kedepannya.

Ditulis oleh Meilisa Anggraeni (Mahasiswa Magang FISIPOL UGM)

2016

Pada bulan Maret 2016, KEMITRAAN menerima akreditasi internasional dari Adaptation Fund. Dewan Adaptation Fund, dalam pertemuannya yang ke-27, memutuskan untuk mengakreditasi KEMITRAAN sebagai National Implementing Entity (NIE) dari Adaptation Fund. KEMITRAAN menjadi lembaga pertama dan satu-satunya lembaga Indonesia yang terakreditasi sebagai NIE Adaptation Fund di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

 

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

 

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

2000-2003

KEMITRAAN memainkan peran krusial dalam mendukung pengembangan undang-undang untuk membentuk KPK. Hal ini diikuti dengan langkah mendukung Pemerintah dan DPR dalam memilih calon komisioner yang kompeten dan juga mendukung kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi secara kritis proses seleksinya. Setelah komisioner ditunjuk, mereka meminta KEMITRAAN untuk membantu mendesain kelembagaan dan rekrutmen awal KPK, serta memainkan peran sebagai koordinator donor. Sangat jelas bahwa KEMITRAAN memainkan peran kunci dalam mendukung KPK untuk mengembangkan kapasitas dan strategi yang diperlukan agar dapat bekerja seefektif mungkin.

2003

Pada tahun 2003, KEMITRAAN menjadi badan hukum yang independen yang terdaftar sebagai Persekutuan Perdata Nirlaba. Pada saat itu, KEMITRAAN masih menjadi program yang dikelola oleh UNDP hingga akhir tahun 2009. Sejak awal tahun 2010, KEMITRAAN mengambil alih tanggung jawab dan akuntabilitas penuh atas program-program dan perkembangannya.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

This agreement was signed between Green Climate Fund (GCF) and PARTNERSHIP. This agreement formalizes KEMITRAAN’s accountability in implementing projects approved by the GCF.

For your information, the GCF is the world’s largest special fund that helps developing countries reduce greenhouse gas emissions and increase their ability to respond to climate change.

These funds were collected by the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) in 2010. The GCF has an important role in realizing the Paris Agreement, namely supporting the goal of keeping the average global temperature increase below 2 degrees Celsius.

2020

This agreement was signed between Green Climate Fund (GCF) and PARTNERSHIP. This agreement formalizes KEMITRAAN’s accountability in implementing projects approved by the GCF.

For your information, the GCF is the world’s largest special fund that helps developing countries reduce greenhouse gas emissions and increase their ability to respond to climate change.

These funds were collected by the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) in 2010. The GCF has an important role in realizing the Paris Agreement, namely supporting the goal of keeping the average global temperature increase below 2 degrees Celsius.

2016

In March 2016, KEMITRAAN received international accreditation from the Adaptation Fund. The Adaptation Fund Board, in its 27th meeting, decided to accredit KEMITRAAN as National Implementing Entity (NIE) from the Adaptation Fund. KEMITRAAN is the first and only Indonesian institution to be accredited as a NIE Adaptation Fund in Indonesia.

2003

In 2003, KEMITRAAN became an independent legal entity registered as a Non-Profit Civil Partnership. At that time, KEMITRAAN was still a program managed by UNDP until the end of 2009. Since the beginning of 2010, KEMITRAAN took over full responsibility and accountability for the programs and their development.

2000-2003

KEMITRAAN played a crucial role in supporting the development of legislation to establish the KPK. This was followed by steps to support the Government and DPR in selecting competent commissioner candidates and also supporting civil society groups to critically monitor the selection process. After the commissioners were appointed, they asked KEMITRAAN to help with the institutional design and initial recruitment of the KPK, as well as play the role of donor coordinator. It is clear that KEMITRAAN plays a key role in supporting the Corruption Eradication Commission to develop the capacity and strategies needed to work as effectively as possible.

1999-2000

The Partnership for Governance Reform, or KEMITRAAN, was founded in 2000 following Indonesia’s first free and fair general election in 1999. This historic election is an important step in Indonesia’s efforts to move away from an authoritarian past towards a democratic future. PARTNERSHIP was established from a multi-donor trust fund and is managed by United Nations Development Programme (UNDP) with a mandate to advance governance reform in Indonesia

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.