foto: dok. Antara Foto
Pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan untuk menyelamatkan warganya dari ancaman pandemi COVID-19. Salah satunya mengalokasikan anggaran untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan fokus pada enam sasaran. Yaitu kesehatan, jaminan sosial, insentif dunia usaha, insentif Usaha Mikro Kecil dan Menengah, subsidi kepada perusahaan-perusahaan, serta sumbangan kepada kementerian/pemerintah daerah.
Sebagai salah satu upaya untuk berkontribusi dalam mendorong tantangan akuntabilitas, transparansi dan integritas pengelolaan dana pemulihan pandemi COVID-19 ini, KEMITRAAN bekerjasama dengan AIPJ2 (Australia Indonesia Partnership for Justice 2). Kerjasama ini dalam menjalankan sebuah kegiatan proyek bernama Boosting Rule of Law, Integrity and Democratic Governance through Civic Engagement [BRIDGE]. Proyek selama 13 bulan dari Januari 2021 sampai dengan Januari 2022 ini bertujuan untuk memperkuat kebijakan pemerintah dan pengawasan oleh masyarakat sipil terhadap pengelolaan dana pemulihan COVID-19 yang akuntabel, transparan, tepat sasaran dan berintegritas.
Project BRIDGE meluncurkan rangkaian kegiatan pelatihan bagi aktor-aktor masyarakat sipil di daerah sasaran proyek, yaitu Kendari, Denpasar, Surabaya dan Medan. Tim proyek BRIDGE bekerjasama dengan tim dari Transparency Internasional Indonesia (TII), Aliansi Jurnalis Kemerdekaan (AJI) dan LaporCovid19 untuk melakukan kegiatan peningkatan kapasitas ini.
Menurut Laode M. Syarif, Direktur Eksekutif KEMITRAAN, saat menjadi salah satu narasumber pelatihan ini mengatakan bahwa tindakan pengawasan terhadap dana COVID-19 perlu dilakukan oleh publik. “Karena itu adalah uang rakyat, uang kita semua yang kita bayar dengan pajak. Tetapi pada saat yang sama, juga jangan sampai disalahgunakan.”
Menurutnya, ada beberapa hal mengapa perlu keterlibatan publik dalam pengawasan dana COVID-19, salah satunya karena UU No 2 Tahun 2020 yang menjadi landasan penanganan pandemi COVID-19 cukup bermasalah, terutama di pasal 2 dan pasal 27. “Pasal 2 memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk relokasi anggaran tanpa persetujuan DPR sehingga berpotensi memunculkan kerawanan penyalahgunaan anggaran negara/dana COVID-19.”
Sementara Pasal 27, Laode juga menyebut adanya ruang potensi penyelewengan dana COVID-19 karena semua kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terkait respon terhadap pandemi tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana.
Selain UU, beliau juga menyayangkan dengan dikeluarkannya Surat Edaran KPK.
“Dulu KPK melarang hal seperti ini. Tetapi KPK mengeluarkan Surat Edaran yang membolehkan pejabat pemerintah untuk mengumpulkan donasi dan menyalurkannya.”
“Bisa saja misalnya KPK dengan dasar Surat Edaran KPK, semua Gubernur mengumpulkan sumbangan masyarakat. Tapi apakah diberikan semua atau tidak?” terang Syarif penuh tanda tanya.
Terakhir, Surat Edaran dari LKPP yang membolehkan penunjukan langsung untuk government project (proyek-proyek pemerintah) dapat menjadi potensi besar adanya korupsi dana pandemi.
“Kalau dulu itu dia (pengadaan yang dilakukan secara penunjukan langsung) harus Rp200 juta ke bawah. Sekarang dengan adanya surat ini, boleh lebih dari itu. Oleh karena itu, maka kemungkinan untuk disalahgunakan lebih tinggi,” ungkap Syarif di hadapan peserta pelatihan yang terdiri dari jurnalis, aktivis CSO dan pers mahasiswa di empat daerah.
Lebih lanjut Agus Sarwono, dari Transparency International Indonesia (TII) menyebut potensi penyelewengan diperparah oleh ketidakmampuan pemerintah dalam menyerap anggaran dana
“Kalau melihat dari realisasi anggaran tahun 2020, faktanya memang insentif dunia usaha itu tidak terserap banyak,” terang Agus.
Juga di sektor kesehatan, “Alokasi anggaran cukup besar ya, kurang lebihnya 95 triliun. Namun faktanya kalau dilihat track-nya itu serapannya justru paling banyak di akhir-akhir tahun. Bahkan pun demikian masih terjadi sisa anggaran yang cukup besar di sektor kesehatan,” lanjut Agus.
Kondisi ini perlu mendapat perhatian dari publik, agar memastikan negara bekerja optimal membantu warganya melewati badai pandemi, dan memastikan negara tidak rugi karena uangnya dikorupsi.“Pertanyaannya adalah, bagaimana kiranya kita sebagai masyarakat sipil memberikan tekanan kepada pemerintah, baik itu pusat maupun daerah, untuk merombak kultur birokrasi yang serapan terjadi di ujung?” harap Agus.
Selain Laode dan Agus, pelatihan selama tiga hari yang diadakan oleh KEMITRAAN secara daring dari tanggal 18-20 Mei, juga melibatkan narasumber dari ICW, AJI dan Laporcovid19.org. Pasca kegiatan, diharapkan para alumni pelatihan akan lebih aktif mengawal penggunaan dana COVID-19 di wilayahnya masing-masing, dan melaporkan temuannya di kanal Laporcovid.org.