Indonesia terdiri dari 17.504 pulau, 714 suku dan lebih dari 1.100 bahasa, dan menurut ALiansi Masyarakat Adat, jumlah populasi masyarakat adat di Indonesia mencapai sekitar 40-70 juta jiwa. Masyarakat adat masih kerap mendapatkan stigma negatif dari masyarakat, karena cara hidup mereka yang masih bergantung dengan alam, sehingga kerap diidentikan dengan “tidak modern” menurut kaca mata masyarakat pada umumnya. Serta tidak memeluk agama yang diakui pemerintah. Keberadaan mereka hanya diakui secara simbolis dari aspek budaya sebagai upaya romantisasi semboyan negara, Bhinneka Tunggal Ika.
Persoalan lain adalah diakibatkan ketidakjelasan hak kepemilikan tanah secara hukum dan minimnya sosialisasi terkait dasar-dasar hukum agraria dari pemerintah pusat. Padahal hutan yang merupakan ruang hidup bagi masyarakat adat, yang seringkali membuat mereka harus tergusur dari lahan tempat tinggal, serta dipaksa beradaptasi dengan situasi yang baru ketika ada proses pembangunan terjadi di wilayah mereka. Hal ini membuat mereka semakin kehilangan koneksi dengan alam akibat tempat yang mereka yakini hilang.
“Masyarakat adat kerap menghadapi persoalan, seperti konflik agraria dan minim pengakuan oleh negara. Hal ini berdampak buruk pada kelangsungan hidup mereka. Seperti hilangnya sumber hidup, tergusur dari lahan tempat tinggal, serta dipaksa beradaptasi dengan situasi yang baru. Kondisi ini membuat mereka semakin kehilangan koneksi dengan alam yang mereka warisi secara turun temurun,” terang Laode M Syarif, Direktur Eksekutif KEMITRAAN Partnership for Governance Reform.
Laode M. Syarif dalam pernyataannya turut menghimbau agar pemerintah melalui kebijakannya semakin mendorong adanya pengakuan dan perlindungan wilayah adat yang menjadi ruang hidup bagi masyarakat adat dan etnis minoritas di Indonesia. Tidak hanya menjadi bagian dari aspek budaya namun juga pemenuhan haknya sebagai warga negara.
Dari masyarakat adat dan etnis minoritas di 7 provinsi yang di dampingi KEMITRAAAN, 4.832 (35%) masyarakat adat masih belum memiliki KTP dari total 13.765 populasi. Tidak adanya identitas legal seringkali membuat mereka tidak mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah dan dilibatkan dalam proses pembangunan. KEMITRAAN melalui program ESTUNGKARA berupaya mengatasi persoalan yang dialami oleh masyarakat adat dan juga etnis minoritas yang kerap mendapatkan perlakukan diskriminasi dengan mendukung terwujudnya kebijakan yang inklusif dengan mendorong kesetaraan untuk menghapus ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat dan etnis minoritas, terutama perempuan, anak, dan disabilitas.
Bertepatan dengan hari Hak Asasi Manusia (HAM) 2022, mengangkat tema “Berkebudayaan, Berkemanusiaan”. Tema ini diangkat dalam tujuan mengkomunikasikan pesan-pesan kemanusiaan melalui pembudayaan nilai-nilai hak asasi manusia. Kebudayaan dan HAM layaknya dua sisi mata uang. Dari sisi kebudayaan, hak asasi manusia dilihat sebagai bagian pengembangan diri dan pribadi manusia seutuhnya yang dijamin oleh negara. Sementara di sisi lain, kebudayaan, mengadopsi nilai-nilai hak asasi manusia yang bertujuan untuk mendiseminasikan nilai-nilai kemanusiaan tersebut melalui pelestarian budaya.
“KEMITRAAN turut mendukung pelaksanaan peringatan hari HAM sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesadaran pemenuhan HAM, melalui penampilan Tari Cokek dari Kelompok Cina Benteng yang menjadi salah satu komunitas dampingan kami untuk dapat berekspresi dalam ruang publik,” ujar Yasir Sani, Program Manager ESTUNGKARA.
Tari Cokek Sipatmo adalah seni pertunjukan yang berkembang pada abad ke 19 Masehi di Kota Tangerang, Propinsi Banten. Melalui pendampingan mitra KEMITRAAN lewat PPSW Jakarta, tarian ini dikembangkan dengan tujuan untuk merevitalisasi nilai-nilai Tari Cokek yang telah terdistorsi dan kembali menjadi tarian Agung yang dipersembahkan pada acara khusus, seperti upacara di Kelenteng, perkawinan atau perayaan tahun baru Cap Gomeh.
Harapannya momen Hari HAM ini mampu membangun kesadaran akan pentingnya pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat dan kelompok minoritas lainnya untuk semakin berdaya dan berdaulat di negeri ini. Keberadaan masyarakat adat juga tidak terlepas dari unsur budaya. Mereka adalah penjaga tradisi dan budaya asli Indonesia yang tersebar hampir di seluruh penjuru negeri ini. Negara perlu semakin nyata dalam memastikan masyarakat adat dan etnis minoritas diperlakukan dan diberikan haknya seutuhnya,terutama juga bagi perempuan, anak dan penyandang disabilitas.