Jakarta, 01 Maret 2023. Mayoritas penduduk Indonesia adalah anak muda, dan sebagian besar dari mereka menganggap perubahan iklim sebagai isu serius yang harus segera ditangani oleh negara. Fakta ini menjadi alasan KEMITRAAN dan lembaga think tank lain di Indonesia yang tergabung dalam konsorsium Think Climate Indonesia (TCI) mengadakan diskusi daring dengan tema Apa Saja Isu Prioritas Dalam Perubahan Iklim bagi Generasi Muda di Tahun Politik.
Think Climate Indonesia merupakan kolaborasi KEMITRAAN, Yayasan KotaKita, WRI Indonesia, Kaleka (Inobu) dan Pattiro untuk mendorong usulan kebijakan perubahan iklim melalui berbagai penelitian yang berbasis evidence-based policy.
Saat memberikan sambutan, Inda Loekman, Head of Knowledge Management & Learning KEMITRAAN, berharap agar Pemilu tahun 2024 menjadi momentum anak muda untuk mendorong isu perubahan iklim menjadi salah satu prioritas pembangunan.
“Berdasarkan data BPS menyatakan bahwa 40 persen dari penduduk adalah berusia muda atau 15 – 39 tahun, di prediksi juga oleh Kompas 60 persen pemilih di 2024 adalah pemilih muda, sehingga momentum pemilu jangan sampai disia siakan,” sebutnya.
Setelah Global Sharpes Survey di tahun 2017 kepada anak muda di seratusan negara, survey Yayasan Indonesia Cerah bersama Indikator Tahun (2021) di 34 Provinsi juga menyatakan bahwa anak muda tahu atau pernah mendengar istilah perubahan iklim. Sebagian besar dari mereka juga cenderung menyetujui bahwa perubahan iklim akan memberikan dampak yang serius bagi berbagai aspek kehidupan.
“Sebanyak 82 persen dari 4.020 responden yang terdiri dari Gen Z dan Millenial menyebut pernah mendengar istilah perubahan iklim,” terang Adityhani Putri (Dithri), Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah pada sesi talkshow.
Tidak hanya mendengar, Dithri menyebut tingkat pengetahuan seputar dampak krisis iklim serta komitmen anak muda untuk terlibat dalam penyelesaian masalah juga cukup tinggi.
“Empat dari lima responden menilai bahwa pemerintah harus menaruh banyak perhatian terhadap perubahan iklim, bahkan jika hal tersebut pun dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Bahkan hampir 43 persen dari responden rela mengeluarkan biaya personal mereka untuk mengatasi perubahan iklim,” ungkapnya.
Besarnya tingkat pemahaman dan komitmen yang dimiliki oleh anak muda harus menjadi modal sosial untuk memastikan arah pembangunan ke depan pasca pergantian kepemimpinan di tahun 2024 semakin mengarusutamakan isu terkait krisis iklim. Untuk itu, Dithri menyebut generasi muda perlu lebih aktif, bahkan mulai menyurati caleg di dapil masing-masing untuk mendorong agenda perubahan iklim.
“Masing-masing kita perlu menyurati caleg di dapil masing-masing atau tweet dan di Instagramnya kita tinggalkan DM dan kita bilang sikap kamu gimana terhadap perubahan iklim? Kita juga perlu bergerak ke KPU untuk mensyaratkan para partai ini punya sikap terhadap perubahan iklim” ungkap Dithri.
Senada dengan Dhitri, Ibu Tuti Alawiyah dari Raoul Wallenberg Institute (RWI) menyebut anak muda perlu lebih aktif lagi dalam politik.
“Pemilih muda yang cerdas harus mengecek apakah isu lingkungan dan perubahan iklim ada atau tidak dalam partai (yang mengikuti Pemilu),” tegasnya.
Menurut Tuti, ada tiga kunci anak muda dalam berinovasi dan melakukan perubahan yakni invest, include, dan support.
“Apakah kita bisa menginves (berinvestasi) terhadap inovasi anak muda? Apakah kita melibatkannya, bukan hanya sekedar gimmick saja? (dan) support setiap saat, tidak hanya saat butuh saja?” tanyanya.
Sementara itu, pemerintah melihat anak muda tidak hanya sebagai korban melainkan menjadi agent of change, oleh karenanya sudah mulai melibatkan generasi muda dalam kebijakan terkait perubahan iklim.
“Mereka (anak muda) itu masih punya inovasi dan kreasi yang lebih, pemikiran yang fresh untuk melihat situasi terkini dan (masa) depan. Mereka juga harus dilibatkan karena mereka sendiri yang akan merasakan dampaknya di masa depan,” ujar Irfan Yananto, perwakilan dari Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas.
Di kementerian tempatnya berkarya, Irfan menyebut anak muda terlibat secara aktif dalam rencana pembangunan ke depan.
“Sebagai contoh saja kami di internal (Bappenas), kami sedang dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang gitu misalnya, kamipun di internal mendorong terbentuknya tim khusus dari millennial dan gen-z untuk membuat suatu konsep sendiri terkait dengan perencanaan ke depan,” sebut Irfan.
Selain narasumber, sesi talkshow diikuti oleh sekitar 80 anak muda dari Aceh hingga Papua. Tidak hanya mengikuti talkshow, para anak muda ini juga berdiskusi secara intensif seputar isu perubahan iklim dalam kelompok-kelompok kecil. Dari diskusi tersebut, mereka dapat mengidentifikasi isu perubahan iklim di daerah masing-masing, dampaknya terhadap keseharian, serta isu prioritas perubahan iklim yang akan diusulkan menjadi agenda prioritas dalam Pemilu 2024.