Tahun 2023 menandai dimulainya tahun politik menjelang Pemilu serentak 2024. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, tahun politik disertai dengan bertambahnya tantangan dalam konteks tata kelola pemerintahan. Dalam video Refleksi KEMITRAAN Terhadap Tantangan Bangsa di 2022, kami memperkirakan tahun ini akan menguji sejauh mana kematangan dalam berdemokrasi.
Tanda-tandanya cukup jelas. Seperti pencopotan hakim MK (Mahkamah Konstitusi) secara tiba-tiba dengan alasan yang tidak masuk logika, karena dianggap seringkali mementahkan hasil produk DPR. Kontroversi tidak berhenti, alih-alih menjalankan putusan MK yang menganulir UU Cipta Kerja karena prosesnya yang bermasalah, pemerintah justru mengeluarkan Perppu Cipta Kerja dengan alasan adanya kegentingan yang memaksa.
Ironisnya, isu perubahan iklim yang disebut sebagai salah satu situasi genting justru tidak tercermin dalam pasal-pasal di dalamnya. Semangat utama Perppu cenderung mempercepat dampak perubahan iklim di Indonesia.
Tahun ini, kontroversi terkait pasal-pasal bermasalah di RUU KUHP juga akan terus bergulir. Ada pasal ancaman pidana terhadap demontran yang melakukan protes tanpa izin (Pasal 256), juga pasal pemidanaan bagi mereka yang dianggap menghina kekuasaan umum atau lembaga negara (Pasal 351).
Salah satu prinsip utama demokrasi adalah control of the abuse of power. Tapi kebijakan yang diambil oleh pemerintah akhir-akhir ini justru menunjukkan kuatnya dugaan pelanggaran terhadap prinsip tersebut, baik di pemerintahan maupun penegakan hukum. Tidak heran bila kini generasi muda merasa demokrasi tidak memiliki makna penting buat mereka. Padahal dulu merekalah yang memperjuangkan implementasi demokrasi di Indonesia.
Tantangan selanjutnya ada pada persiapan penyelenggaraan Pemilu serentak terbesar pertama di dunia. Jika tidak dilakukan secara optimal tahun ini, berpotensi mengakibatkan munculnya kontroversi yang berujung terjadinya konflik sosial.
Oleh karenanya tahun politik harus dimaknai sebagai momen untuk mempersiapkan penyelenggaraan pesta demokrasi, baik secara penyelenggaraan maupun substansinya. Penting bagi publik untuk mendesak para calon pemimpin memiliki dedikasi terhadap keberlanjutan demokrasi di Indonesia. Jangan ada lagi akrobat regulasi yang dapat mengganggu kedewasaan kita dalam berdemokrasi.
Selain itu, agenda lain yang perlu diusulkan kepada kandidat pemimpin adalah urgensi perubahan iklim, karena dampaknya sudah dirasakan dan memengaruhi seluruh lapisan masyarakat. Contohnya, curah hujan dan pergantian musim yang kian sulit diprediksi telah menimbulkan kerentanan terhadap ketahanan pangan yang sedang kita upayakan.
Dalam laporan Climate Outlook 2023, BMKG meminta kita mewaspadai kemarau tahun ini. La Nina yang menyebabkan kondisi basah di atas normal pada musim kemarau pada tiga tahun terakhir diprediksi akan berakhir. Sehingga tahun ini akan mengalami kemarau dan tanah akan lebih kering, sehingga menyebabkan potensi kebakaran hutan dan lahan lebih besar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Seperti demokrasi, perubahan iklim juga sesuatu yang sangat kompleks. Persiapan dan peningkatan kapasitas warga untuk melakukan mitigasi dan adaptasi perlu segera diupayakan, agar tercipta resiliensi.
Kita berharap ingar-bingar tahun politik tidak akan mengganggu kualitas demokrasi dan publik dapat mendapatkan komitmen dari para calon pemimpin bangsa bahwa mereka akan mengarusutamakan isu perubahan iklim dalam program pembangunan negara. Karena, mereka yang akan mengorkestrasi masa depan Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Seperti kata Mohammad Hatta, “Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.”
Salam Perjuangan,
Laode M. Syarif
Artikel ini telah dimuat di Kabar KEMITRAAN Januari 2023.
Berlangganan newsletter KEMITRAAN melalui tautan ini.