Masyarakat adat merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang menjadi kelompok minoritas dan termarjinalisasi karena identitas mereka yang berbeda dari indetitas dominan masyarakat Indonesia pada umumnya. Menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Indonesia memiliki 2.161 komunitas adat per 9 Agustus 2022.
Keberadaan masyarakat adat di Indonesia merupakan fakta sosial bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka tahun 1945. Masyarakat adat memiliki kearifan yang tinggi, serta pengetahuan kehidupan yang beragam baik dalam sistem sosial-ekonomi. Meski demikian, dalam kenyataannya kerap terjadi pertentangan antara budaya masyarakat adat yang bertumpu pada keseimbangan alam dan sistem produksi yang lebih menekankan pada ekonomi subsisten (berladang, berburu, mengumpulkan hasil kebun, dll) dengan kebijakan pemerintah yang eksploratif terhadap sumber daya alam.
KEMITRAAN melalui program Estungkara (kESeTaraan Untuk meNGhapus KetidakAdilan dan diskRiminAsi) telah mengadakan pendataan yang dilakukan pada komunitas adat di 7 provinsi di Indonesia pada bulan Agustus hingga Desember 2022. Pendataan ini dilakukan untuk melihat persoalan dasar yang dihadapi oleh masyarakat adat terlebih khusus pada kelompok perempuan adat di Provinsi Jambi, Sumatera Barat, Banten, NTT, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Tengah.
Sebanyak 6,728 perempuan adat dan anggota keluarga perempuan turut menjadi responden dalam pendataan yang dilakukan. Dari hasil pendataan ini ada sejumlah catatan penting yang perlu diperhatikan dimana sebagian besar perempuan adat yang juga merupakan kepala keluarga tidak pernah mengenyam pendidikan formal/tidak memiliki ijazah pendidikan. Kondisi ini menyebabkan mereka sulit berpartisipasi atau meningkatkan kapasitasnya dalam aspek ekonomi/kesejahteraan keluarga maupun dalam pembangunan desa.
“Sebagian besar dari mereka juga memiliki rata-rata pendapatan di bawah 1 juta, yang berpotensi menyebabkan mereka jatuh dalam perangkap kemiskinan,” ujar Yasir Sani, Manager Program Estungkara.
Kondisi kerentanan perempuan kepala keluarga semakin bertambah ketika mereka juga berstatus sebagai penyandang disabilitas. Kondisi disabilitas menyebabkan ruang partisipasi dalam bekerja ataupun berpartisipasi dalam pembangunan desa semakin terbatas. Adapun dari total responden pendataan ini, 3% diantaranya adalah penyandang disabilitas, baik itu disabilitas fisik, intelektual, mental, dan sensorik.
Dari pendataan ini juga menyebutkan 12,34% dari responden ada pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Pembedaan ini meliputi pembagian kerja, pengambilan keputusan atau ruang berpendapat, keterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, serta kepemimpinan dalam komunitas.
Pada konteks perencanaan pembangunan, keterlibatan perempuan masih cukup minim atau tidak diketahui oleh responden. Salah satu sebab mengapa perempuan belum banyak terlibat dalam perencanaan pembangunan adalah karena dianggap tidak memiliki kapasitas, adanya dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan, serta pihak pemerintah desa yang belum memberikan ruang partisipasi secara setara.
Dari hasil pendataan ini masih terlihat adanya perlakuan yang berbeda terhadap masyarakat adat, terutama karena persoalan stigma dan identitasnya sebagai masyarakat adat, dan hal ini biasanya semakin diperparah apabila situasi ini menimpa perempuan.
Masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang hingga saat ini masih mempraktikkan pengetahuan tradisional yang membuat mereka mampu bertahan karena kedekatan dengan alam. Masyarakat adat memiliki peran yang penting dalam melindungi hutan dan lingkungan, peran ini sebagian besar dipegang oleh perempuan adat. Perempuan memiliki andil sebagai agen perubahan sekaligus penjaga kelestarian alam yang menjadi sumber penghidupan masyarakat.
Masyarakat Ndora di Kabupaten Nagekeo Nusa Tenggara Timur pada umumnya menggunakan mata air untuk mengambil air dan memanfaatkan beberapa jenis tanaman obat tradisional dan umbi-umbian hutan sebagai sumber pangan di masa krisis. Peran ini biasanya dilakukan oleh perempuan adat untuk mendukung sumber pangan dan juga pengobatan baik bagi komunitas dan keluarga.
Pada dasarnya perempuan adat memiliki pengetahuan ekologi tradisional secara turun-temurun mulai dari tata kelola sumber daya, konservasi hutan, pertanian dan mata pencaharian. Hal ini menunjukkan bahwa mereka memiliki peran penting dalam pengelolaan lingkungan dan menjaga kelestarian lingkungan yang menjadi sumber penghidupan.
Harapannya data-data ini mampu disikapi dengan lebih memberikan jaminan bagi perempuan adat untuk berpartisipasi dalam ruang berpendapat, serta pengakuan dan perlindungan bagi hak-hak perempuan adat, baik sebagai individu maupun kolektif, mampu menegaskan pengakuan peran perempuan adat sebagai pemilik kekayaan pengetahuan tradisi yang dapat menjadi salah satu modalitas sosial, ekonomi dan budaya bangsa.