Perlawanan perempuan dalam masyarakat hukum adat adalah cerminan kegigihan, ketabahan, dan keberanian yang telah mengakar dalam budaya serta tradisi selama berabad-abad. Ini adalah potret yang menginspirasi tentang bagaimana perempuan, di tengah berbagai aturan dan norma yang terasa membatasi, telah menemukan cara untuk menghadapi dan mengubah struktur masyarakat yang ada.
Dalam banyak masyarakat hukum adat, perempuan seringkali dihadapkan pada sistem yang terfokus pada tradisi patriarki. Mereka dibatasi dalam hal kepemilikan tanah, pengambilan keputusan, hak-hak sosial dan ekonomi lainnya. Namun, potret perempuan dalam masyarakat hukum adat tidak hanya tentang ketidaksetaraan, tapi juga tentang perjuangan untuk memperoleh haknya dan mengubah pandangan masyarakat. Mereka mulai aktif menggugat implementasi patriarki, berperan dalam gerakan sosial dan politik untuk mengubah peraturan yang tidak adil dan mendukung kesetaraan gender.
Akan tetapi, perlawanan perempuan dalam masyarakat hukum adat juga seringkali menghadapi tantangan besar, seperti dihadapkan pada stigma, intimidasi, dan bahkan kekerasan dalam upaya meraih hak-hak mereka.
Kondisi ini yang menjadi landasan KEMITRAAN, melalui program Estungkara, mengambil inisiatif untuk membahas masalah yang dihadapi oleh perempuan adat dengan mengadakan diskusi interaktif yang diadakan pada 26 September 2023 di Universitas Gadjah Mada. Diskusi menghadirkan Syaiful dari Karsa Institue, Hasna Songko dari Perempuan Adat Kulawi, Samsul Maarif, dosen Antropologi dan CRCS UGM serta ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Michelin Sallata sebagai narasumber.
Hasna Songko menceritakan bagaimana di pegunungan tempat mereka tinggal, hubungan dengan hutan adalah salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun situasi akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan, selain sebagian besar wilayah telah diambil alih oleh industri pertambangan nasional, tapi juga generasi muda adat yang cenderung abai dalam aktivitas adat. Hal ini menyebabkan prinsip gotong royong yang menjadi fondasi utama dalam kehidupan masyarakat adat Kulawi, salah satunya dalam mengelola pertanian kian terancam.
“Akan tetapi melihat generasi muda yang sering kali tidak terlibat dalam aktivitas sehari-hari kami, menjadi salah satu tantangan terbesar sehingga mereka kehilangan peluang berharga untuk belajar melalui pengalaman hidup,” ujar Hasna.
Ditambah di dalam kehidupan masyarakat adat, masih kuat dengan nilai-nilai patriarki. Anak laki-laki sering mendapat prioritas, terutama dalam pembagian harta. Padahal di masa sebelum kedatangan Belanda, perempuan adat Kulawi memiliki posisi penting, bahkan memimpin dalam beberapa aspek kehidupan, misalnya sebagai tempat untuk meminta pandangan dalam mengatasi masalah atau membuat keputusan penting. Tidak hanya dianggap sebagai pelengkap dalam proses musyawarah, tanpa suara yang dihargai seperti saat ini.
Akan tetapi, perempuan adat Kulawi kini mulai dilibatkan dalam proses advokasi serta pengambilan keputusan terutama dalam memperjuangkan hak atas tanah masyarakat adat dan pelestarian lingkungan hidup yang berkelanjutan.
“Sebagai masyarakat adat di Koh Tulawi, kami telah mulai melawan dampak negatif dari industri pertambangan, dan dalam proses tersebut, kami mendapatkan pengetahuan dan kesadaran dari teman-teman di LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) bahwa kami memiliki hak untuk menentukan nasib kami sendiri, dan tidak hanya tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh negara,” jelasnya.
Karsa Intitute, Syaiful menjelaskan sejak tahun 2010, lembaganya telah berkomitmen melakukan pendampingan terhadap masyarakat adat Kulawi. Upaya dimulai dengan membantu masyarakat mendapatkan akses kepada hak-hak dasar seperti, pendidikan dan kesejahteraan. Tidak hanya itu, pendampingan juga dilakukan dalam hal menghadapi konflik terkait pengakuan wilayah dan hak mereka atas akses ke hutan.
Pada sisi lain, komunitas adat juga memerlukan pendampingan terhadap perubahan yang kian masif. Sebagai contoh, pembukaan jalan dan masuknya teknologi seperti ponsel dan internet, telah membawa dampak positif maupun negatif. Oleh karena itu, pendampingan dalam menghadapi perubahan, yang disebut “estungkara,” adalah langkah penting. Meskipun tantangan masih besar, Syaiful tetap optimis. Dalam upaya untuk meredefinisikan peran perempuan dan mewujudkan perubahan yang lebih baik dalam masyarakat, langkah-langkah konkrit seperti pendampingan, dialog, dan pemberdayaan perempuan menjadi kunci.
Tak jauh berbeda dari Hasna dan Syaiful, sebagai ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Michel Sallatin menambahlan ketika perempuan kehilangan peran dan ruang partisipasi mereka dalam masyarakat adat, kerugian tidak hanya dialami mereka sendiri, tetapi juga bagi seluruh komunitas. Terkadang, perempuan bahkan dianggap sebagai simbol negatif, padahal adat memiliki sistem dan aturan yang didesain untuk menjaga keseimbangan alam dan sosial.
Dirinya juga menambahkan penting untuk mendengar dan memahami keinginan masyarakat adat, yang di mana hal ini tidak selalu sejalan dengan agenda pembangunan yang didominasi oleh masyarakat perkotaan. Perempuan tidak boleh dianggap sebagai token dalam upaya pencapaian kesetaraan. Terlalu sering perempuan adat memberikan pengorbanan besar namun akhirnya diabaikan. Dirinya dan anak-anak muda dari masyarakat adat yakin bahwa perempuan bisa memimpin perubahan.
“Dalam menghadapi situasi ini, penting untuk menyebarkan kesadaran, memberikan pendidikan, dan memberikan dukungan yang diperlukan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, terutama hak-hak perempuan. Ini adalah tugas generasi muda untuk aktif terlibat dalam perlindungan lingkungan dan pelestarian budaya adat mereka, serta untuk memicu perubahan positif dalam paradigma yang mendominasi,” tutup Michel.
Narasi-narasi yang dijelaskan oleh beberapa narasumber menurut Samsul Maarif, dosen Antropologi UGM menggambarkan kompleksitas peran perempuan adat dalam struktur sosial dan bagaimana kontribusinya berdampak pada diskriminasi yang mereka alami dalam lingkungan mereka. Dalam konteks ini, masyarakat adat bukan hanya suatu sistem aturan, tetapi juga ekologi ruang yang menekankan hubungan antara manusia dan alam. Perempuan dalam masyarakat adat memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ini.
Akan tetapi, Samsul melihat bahwa perempuan adat seringkali dihadapkan pada tantangan diskriminasi dan eksklusi. Patriarki dominan dalam politik masyarakat adat, dan fokus pada kelangsungan hidup seringkali menghambat perempuan adat untuk menghadapi situasi yang penuh tekanan dari kelompok luar. Bahkan dalam masyarakat adat itu sendiri, hierarki telah menjadi bagian dari sistem, dengan perempuan sering kali berada di posisi terbawah. Semua ini diperparah oleh struktur kekuasaan negara yang eksisting.
“Pentingnya memahami kompleksitas ini adalah agar kita dapat memulai perjalanan menuju pengakuan yang lebih adil bagi perempuan dalam masyarakat adat dan merangkul kontribusi pengetahuan adat dalam menjawab tantangan global seperti perubahan iklim. Konstitusi memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat, tetapi dalam praktiknya, masalah hak masyarakat adat seringkali rumit,” tambah Samsul.
Paradigma ekonomi yang mendominasi, kata Samsul, seringkali merusak lingkungan dan memengaruhi masyarakat adat melalui penggusuran dan pembangunan yang merusak ekosistem. Struktur birokrasi yang ada juga dapat menjadi kendala dalam upaya masyarakat adat untuk mencapai hak-hak mereka. Oleh karena itu, masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat lainnya, harus bekerja keras untuk membantu masyarakat adat dalam upaya mereka memperoleh hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan.
Kampus dan para akademisi memiliki peran penting dalam mengubah pandangan dan paradigma. Produksi pengetahuan di kampus sering kali cenderung merujuk ke paradigma barat dan hierarki manusia terhadap alam. Namun, berkenalan dengan masyarakat adat dan memahami cara mereka menjaga keseimbangan dengan alam dapat membantu mengubah cara mahasiswa memandang dunia. Hal ini juga dapat mempromosikan inklusi dan pengakuan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas. Untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat serta perempuan di dalamnya, perlu adanya pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas masyarakat adat, kerja sama antara lembaga seperti Karsa Institute, dan perubahan paradigma di kampus dan dalam masyarakat umum. Semua ini merupakan langkah awal dalam upaya membangun dunia yang lebih inklusif dan berkelanjutan.