Dengan predikat sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, pengalaman Indonesia dalam reformasi tata kelola pemerintahan, selama dua dekade terakhir penting untuk dibagikan kepada negara-negara seperti di wilayah ASEAN, Timor Leste dan Papua New Guinea.
KEMITRAAN selaku salah satu lembaga yang konsisten selama dua puluh tahun mengawal reformasi memiliki peran signifikan untuk menjadi fasilitator dalam berbagi pengalaman dan pengetahuan yang Indonesia miliki. Hal ini mengemuka dalam diskusi terpumpun penyusunan Rencana Strategis KEMITRAAN 2022 – 2026 yang mengundang perwakilan dari berbagai organisasi sosial internasional.
Makarim Wibisono, mantan Duta Besar RI untuk PBB periode 2004-2007 yang juga salah satu tokoh pendiri KEMITRAAN, mengungkapkan bahwa kerja sama di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) dapat dimulai dengan Filipina dan Thailand. “Mungkin bersama mereka bisa melakukan hal yang lebih luas di bidang HAM, sebab sebenarnya mereka juga tidak suka dengan sikap pemerintah terhadap langkah-langkah penerapan HAM di negara mereka,” ungkap Makarim.
Sementara itu Yuyun Wahyuningrum selaku Wakil Indonesia di ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, mengusulkan tiga isu besar yang dapat diterima oleh negara-negara di ASEAN, yakni perdamaian dan keamanan perempuan. “Indonesia memiliki persoalan tersebut dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara, tapi bisa dibuat sebagai the Center of Knowledge on Human Rights and Counter Extrimism,” ungkap Yuyun.
Isu kedua adalah pencapaian SDG (Sustainable Development Goals) di ASEAN yang terhambat semasa pandemi COVID-19. Sementara isu climate change juga penting dan lebih mudah diterapkan secara regional. Isu lain yang menjadi sorotan adalah menyempitnya ruang demokrasi di berbagai negara ASEAN, terutama di Filipina setelah era Dueterte. “Kita melihat persoalan demokrasi ini berkelindan langsung dengan persoalan lingkungan hidup dan krisis iklim. KEMITRAAN dengan pengalamannya bisa bekerja dengan beberapa negara lain di ASEAN,” usul Leo Simanjuntak, Country Director Greenpeace Indonesia.
Di lain pihak, Putri Rahayu Wijayanti, perwakilan dari UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) menyebut tahun lalu lembaganya sudah mencoba pendekatan regional, mengundang perwakilan dari lembaga penegak hukum di Asia Tenggara untuk mendiskusikan bagaimana menumbuhkan integritas di lembaga penegak hukum. “Namun belum sesuai target, karena lembaga-lembaga tersebut lebih fokus pada kerjasama internasional,” ujar Putri.
Menurut Dadang Trisasongko, mantan Sekjen Transparansi Internasional Indonesia (TII), permasalahan integritas penegak hukum memiliki peluang menjadi program bersama di ASEAN. “Jika melihat Corruption Perception Index, Indonesia berada di tengah posisinya. Ini bisa jadi ide dimana KEMITRAAN bisa jadi fasilitator untuk saling belajar,” ungkapnya.
Peluang bekerja sama secara regional sudah terbuka dengan kerja-kerja KEMITRAAN bersama organisasi non pemerintah dari berbagai negara pada proyek-proyek terdahulu. Laode M Syarif menyatakan, saat ini beberapa proyek bidang lingkungan di lembaganya bekerjasama dengan negara lain seperti Papua New Guinea, Timor Leste, Malaysia, Philipina dan Thailand. Menurut Laode, saat Mohamed Morsi menjadi presiden Mesir, UNDP sempat meminta KEMITRAAN untuk mempresentasikan hasil kajian Indonesia Governance Index dengan tujuan memajukan demokrasi Mesir. Namun sayangnya kesempatan ini batal dilaksanakan karena adanya perubahan politik di Mesir.
Peserta diskusi berharap, kerja-kerja KEMITRAAN ke depan perlu juga untuk menyusun strategi berbagi praktik baik yang dilakukan di Indonesia ke negara-negara lain.