BAGAIMANA kondisi demokrasi Indonesia saat ini? Pertanyaan tersebut muncul sesaat setelah penulis diminta memberikan materi seputar demokrasi kepada perwakilan anak muda Sumatera Barat dan Aceh, di acara youth camp Muda Melangkah.
Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana menyampaikan materi kepada anak muda dengan tingkat pengetahuan yang cukup beragam, mayoritas awam dan hanya sebagian kecil yang pernah mendapat informasi seputar demokrasi. Kekeliruan dalam pemilihan sudut pandang demokrasi dan penggunaan diksi bisa saja menjadikan diskusi tidak terjadi.
Jalan Berliku
Penulis kemudian melakukan serangkaian kajian untuk menjawab pertanyaan di awal, memilih sudut pandang sejarah demokrasi dengan bercerita kepada anak-anak muda di tanah Minang, serta mengaitkan demokrasi dengan kopi di Serambi Mekah.
Penulis menemukan gambaran kualitas demokrasi hari ini dari hasil survei nasional Litbang Kompas yang dilakukan pada periode 6 hingga 9 September tahun ini. Salah satu kesimpulannya menyebutkan, kualitas demokrasi di Indonesia lebih buruk dibanding tahun 2021.
Hasil survei seolah menegaskan isi buku Demokrasi di Indonesia, dari Stagnasi ke Regresi (2021). Thomas Power, selaku editor buku menyatakan, perjalanan demokrasi Indonesia ibarat tarian poco-poco, idealnya dua langkah maju yang diikuti oleh satu langkah mundur. Namun kondisi saat ini menunjukan langkah mundur kita tidak hanya satu, melainkan bisa lima langkah.
Pada sisi lain, survei juga menyebutkan maraknya korupsi jadi penghambat demokrasi. Potret bahayanya korupsi pernah dilakukan di tahun 2004, dalam buku Democracy for Sale; Pemilu, Klientalisme, dan Negara di Indonesia. Ironisnya, maraknya praktik korupsi justru dilakukan untuk membiayai biaya pemilu (mandat utama demokrasi) yang mahal. Saat itu, tren penyalahgunaan izin pemanfaatan hutan menjadi modus yang marak dilakukan.
Melihat lebih jauh ke belakang, perjalanan demokrasi di Indonesia juga diselingi oleh jalan terjal. Pasca kemerdekaan, kita punya sistem demokrasi parlementer (1945-1959) yang kemudian diubah karena dianggap terlalu liberal. Demokrasi terpimpin (1959-1965) yang menjadi gantinya justru bernasib kurang baik, berujung pada peristiwa penggulingan pemerintahan.
Di tahun 1966, kita kembali ke demokrasi Pancasila dengan jargon pembangunan dan kesejahteraan. Namun itu semata jargon. Rezim orde baru kemudian digulingkan tahun 1998 setelah menguatnya pemerintahan aristokrat nan otoriter serta korup. Pasca reformasi, demokrasi Pancasila diperkuat untuk mengurangi potensi kembalinya otoritarian yang korup.
Demokrasi Kita
Pada momen-momen perubahan besar demokrasi, ada peran besar tokoh-tokoh yang berasal dari Sumatera Barat. Sebut saja Tan Malaka, pencetus ide konsep Republik Indonesia, dan salah satu proklamator kita, Mohammad Hatta. Ada juga KH Agus Salim, Buya Hamka, HR Rasuna Said, dan lain-lain. Namun, demokrasi dapat digunakan untuk menjatuhkan anaknya sendiri.
Di tahun 1960, tulisan Buya Hatta dengan judul “Demokrasi Kita” di majalah Panji Masyarakat dilarang untuk dibaca. Majalah itu diberedel dan yang menyimpan serta membaca tulisan Hatta terancam hukuman. Baca juga: Menyelamatkan Demokrasi Kita Demokrasi saat itu menurut Hatta sedang krisis, karena konsep terpimpin menjadikan demokrasi tidak sejalan dengan cita-cita awalnya.
Bung Hatta juga mengingatkan bahwa cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia, termasuk ekonomi. Logikanya sederhana, bagaimana tujuan menyejahterakan masyarakat akan tercapai jika ruang-ruang ekonomi justru diisi oleh prinsip liberal nan individualistik? Selama belum ada demokrasi di ekonomi, manusia belum dianggap merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Saat menjelaskan kondisi demokrasi dari sejarah hingga hari ini kepada perwakilan anak muda di Bukittinggi, penulis mendapat banyak pertanyaan, di antaranya kenapa Indonesia masih menggunakan sistem demokrasi? Penanya mengusulkan sistem pemerintahan kita kembali ke kerajaan.
Penulis menjawab, dalam praktiknya sistem monarki atau kerajaan akan mendapat banyak tantangan, terutama jika dikaitkan dengan kondisi saat ini. Pertanyaannya kemudian, bagaimana mencapai kata sepakat dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote seputar raja yang akan dikukuhkan? Ide ini sama halnya dengan ide khilafah.
Jika semua orang sepakat dengan sistem tersebut, lalu pertanyaannya siapa yang akan diangkat menjadi khalifah? Pada sisi lain, monarki akan dengan cepat menemukan musuh bebuyutannya yakni tirani. Kekuasaan absolut pada satu orang atau kelompok akan memunculkan kecenderungan adanya tindakan semena-mena. Tidak hanya diberedel atau dibuang, bahkan nyawa manusia berpotensi tidak ada harganya, hanya karena tidak setuju atau mengkritik titah sang raja.
Kembali ke tulisan Bung Hatta, sejatinya Indonesia telah mengimplementasikan prinsip kekuasaan rakyat sejak nenek moyang, di tingkat desa, bahkan saat masih berbentuk kerajaan. Ada lima prinsip demokrasi desa yang kemudian dijadikan sebagai pokok bagi demokrasi yang dijadikan dasar pemerintahan Indonesia menurut Hatta: rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama, dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja. Nenek moyang kita berhasil menjaga demokrasi tetap ada dan berkembang, bahkan saat di bawah kekuasaan raja. Pendahulu kita juga telah mewarnai serta menjadi garda terdepan saat demokrasi cenderung melenceng dari jalurnya. Kini, Indonesia menantikan para demokrat baru yang lahir dari rahim reformasi, dan anak muda berada di antrean terdepan.
Penulis: Arif Nurdiansah, Peneliti KEMITRAAN
Editor : Egidius Patnistik, kompas.com
Artikel ini telah tayang di www.kompas.com