Perubahan iklim tidak hanya mengancam kelestarian lingkungan, tetapi juga mengakibatkan berkurangnya produksi pangan di sepertiga wilayah produksi pangan dunia, meningkatnya kemiskinan dan risiko kesehatan.
Dampak perubahan iklim dirasakan oleh semua pihak. Kaum perempuan menjadi salah satu yang paling rentan terhadap perubahan iklim ini. “Sebanyak 89 dari 130 studi mengungkapkan bahwa perempuan lebih banyak terdampak penyakit daripada laki-laki. Mereka juga mengalami diskriminasi secara sosial, hukum dan ekonomi,” ujar Prof. Sulistyowati Irianto dari Yayasan Inobu pada Forum Dialogue Think Climate Indonesia (TCI), berjudul Membedah Pendekatan Gender dan Inklusi Sosial dalam Aksi Iklim di Indonesia, Rabu 6 April 2022.
“Misalnya, perempuan pekerja di kebun sawit tidak tercatat secara memadai di Dinas Ketenagakerjaan. Mereka berstatus buruh harian lepas atau pembantu suami atau ayah dengan tanpa dibayar, terutama pada musim panen. Bahkan, mereka juga rentan mengalami pelecehan seksual dan kekerasan, tinggal berdesakan di tempat yang tidak layak, melahirkan bayi namun tidak terurus sehingga anak tersebut mengulang siklus hidup seperti ibunya. Belum lagi soal fasilitas kesehatan di masa pandemi COVID-19 yang terabaikan,” lanjutnya.
Forum perdana ini diadakan secara daring oleh Think Climate Indonesia (TCI), komunitas praktik yang digagas oleh lima lembaga think tank di Indonesia yang berfokus pada upaya mendorong aksi iklim yang efektif dan nyata. Forum ini terbentuk dengan dukungan dari International Development Research Centre (IDRC) dan Oak Foundation. KEMITRAAN bergabung bersama Yayasan Inobu, World Resources Institute (WRI) Indonesia, PATTIRO dan Kota Kita Foundation dalam TCI.
Forum ini akan digelar secara reguler untuk membuka ruang diskusi terkait tantangan dan hambatan yang dihadapi organisasi masyarakat sipil, think tank, dan pembuat kebijakan. Selain itu, dari forum ini diharapkan akan menelurkan ide, gagasan, serta langkah-langkah yang dapat dilakukan bersama dalam upaya advokasi untuk aksi iklim di Indonesia.
Cynthia Maharani dari Gender Equity and Social Inclusion Program Lead, WRI Indonesia selaku pembicara kedua dalam forum ini memberikan contoh dampak perubahan iklim lainnya, “Kebakaran di Lombok mengakibatkan ketimpangan gender di mana laki-laki bisa pergi dengan bebas dari daerahnya, sedangkan perempuan terikat aturan yang mengharuskan mereka menjaga lahan.”
“Contoh ketimpangan lainnya dirasakan oleh perempuan Dayak Iban di Kalimantan Barat. Mereka memiliki akses yang lebih sedikit untuk memanfaatkan lahannya, bahkan mereka bisa kehilangan otoritas dari tanah warisan leluhur,” lanjutnya.
Berangkat dari fakta ketimpangan yang ada di masyarakat, mendorong isu gender dan inklusi tidak sebatas menjadi fokus pada dampak perubahan iklim, melainkan perlu ditingkatkan lagi hingga terwujud gender transformatif. Karena butuh lebih banyak aktor kuat di organisasi masyarakat sipil dalam pengarusutamaan isu gender dan inklusi.
Nina Asterina dari Urban Inclusivity Program Manager, Kota Kita Foundation menambahkan bahwa, “Orang-orang dengan kebutuhan khusus (difabel) juga termasuk kelompok masyarakat yang paling terdampak dari perubahan iklim. Mereka tidak memiliki suara yang cukup kuat, dan sering tidak dilibatkan dalam proses pembentukan kebijakan. Pembuat kebijakan sering menganggap isu disabilitas dan perubahan iklim adalah dua hal yang berbeda. Padahal, kedua isu tersebut saling berkaitan.”
Alhasil, sarana atau fasilitas publik yang ramah difabel sangat minim, bahkan tidak lagi bisa diakses, seperti rute jalan evakuasi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Kota Kita menerapkan pendekatan advokasi partisipatif dan inklusif demi terciptanya warga kota yang memiliki kesempatan sama untuk berpartisipasi penuh dalam segala aspek tanpa terkecuali, serta menempatkan warga kota serta kebutuhan dan haknya yang setara.
Setelah sesi pembicara berakhir, Dr. Elisabeth Dewi, konsultan gender KEMITRAAN selaku penanggap menyimpulkan bahwa, “Kehebatan kelompok minoritas dan marjinal seperti perempuan dan difabel adalah menjadikan kerentanan sebagai kekuatan, kemudian menguatkan agensi mereka untuk bergerak dan bersuara. Yang harus dilakukan para pemangku kebijakan adalah mendengarkan aspirasi mereka agar tersedianya akses bagi semua pihak,” ucapnya.
Nantikan acara TCI berikutnya untuk bersama-sama saling belajar mewujudkan aksi iklim nyata di Indonesia!