KEMITRAAN mengakui bahwa pemerintah telah berupaya dengan sekuat tenaga memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) kepada warganya. Tetapi pada saat yang sama, masih terdapat beberapa ekses, khususnya pada para pejuang lingkungan yang banyak mendapatkan perundungan dan tindakan-tindakan yang dianggap belum sesuai dengan ranah hukum atau perlindungan HAM yang sebenarnya.
“Efendi Buhing, atau Salim Kancil dan lain-lain menjadi contoh. Seakan-akan hak atas lingkungan, warisan dari nenek moyang dikalahkan oleh misalnya dunia usaha yang merebut kehidupan dan tempat hidup mereka,” jelas Laode.
Demikian salah satu poin penting yang disampaikan oleh Laode M. Syarif, Direktur Eksekutif KEMITRAAN dalam sambutannya pada acara penutupan program Human Right Defenders (HRD) di Erasmus Huis tanggal 27 Januari 2022 lalu. Program yang didukung oleh Kedutaan Besar Belanda ini telah berlangsung selama kurang lebih tiga tahun dan bekerja sama dengan KLHK, Kemenkopolhukam, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Kantor Staf Presiden.
Program juga melibatkan organisasi masyarakat sipil di level nasional, yakni ICEL, Elsam, LBH Pers, dan Imparsial, serta delapan organisasi non pemerintah yang tersebar dari barat hingga timur Indonesia, di antaranya LBH Semarang, Celebes Institute , Jatam Sulteng, Yayasan Suara Nurani Minaesa, Jatam Kaltim, Walhi Sumatera Selatan, Walhi Sumbar dan Walhi Jatim.
Program ini menurut Laode telah berhasil merumuskan beberapa usulan kebijakan kepada pemerintah, seperti naskah akademik dan draft revisi UU HAM di mana salah satu pasal penting yang diusulkan adalah tentang perlindungan pada pembela HAM, draf amandemen peraturan 5/2015 tentang Prosedur Perlindungan terhadap Pembela HAM dan panduan pelaksanaannya serta kertas kebijakan sebagai masukan atas Rapermen KLHK terkait Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-SLAPP).
Selain itu, program juga berhasil merumuskan buku pedoman protokol keamanan bagi jurnalis yang meliput isu kejahatan lingkungan. Ini penting karena menurut data dari Imparsial, jurnalis peliput isu lingkungan kerap mendapat tindakan kekerasan dan juga kriminalisasi. Di level komunitas, mekanisme keamanan bagi masyarakat yang sedang berjuang melawan korporasi maupun pemerintah untuk mendapatkan haknya berhasil disusun dan diimplementasikan.
Laode berharap, upaya yang telah dilakukan KEMITRAAN bersama mitra kerja dapat memicu kerja pemerintah ke depan agar dapat lebih memberikan pelindungan kepada para pembela HAM, khususnya sektor lingkungan.
Sementara itu, Deputy Ambassador Kedutaan Besar Belanda, Ardi Stoios-Braken dalam sambutannya menekankan pentingnya kerjasama antara pemerintah, masyarakat sipil dan pengadilan. Dia kemudian mengutip lirik lagu The Beatles berjudul With a Little Help from My Friend. Menurutnya, masyarakat sipil perlu dilihat sebagai teman yang memberikan informasi tentang implementasi dan dampak dari kebijakan di daerah, serta menunjukan kekurangannya sehingga dapat segera diperbaiki.
Ardi kemudian menyebut bagaimana hubungan antara pemerintahan Belanda dengan masyarakat sipil terbangun. Dia menjelaskan satu momen penting tentang respon pemerintahnya terhadap laporan kekerasan yang dialami para demonstran saat memprotes kebijakan penanganan pandemi COVID. Respon pemerintah tegas, berujung pada pencopotan terhadap aparat kepolisian yang melakukan kekerasan.
Pemerintah Belanda memiliki komiten yang tinggi terhadap peningkatan penegakan hukum, anti korupsi dan peradilan di negara-negara di seluruh dunia, salah satunya Indonesia. Kerja bersama KEMITRAAN telah dilakukan sejak awal reformasi.
“Sejak reformasi, KEMITRAAN melakukan peran yang sangat diperlukan dalam membantu membangun Indonesia yang demokratis, transparansi dan toleran. Kami senang bisa menjadi bagian dari itu,” jelas Ardi.
Menutup sambutannya, Ardi mengingatkan pentingnya teman seperti dalam lagu The Beatles.
“Orang bertahan dengan bantuan dari teman mereka. Pemerintah bertahan dengan sedikit bantuan, dan sedikit nasihat dari teman, yakni masyarakat sipil, jurnalis, pembela HAM dan pengadilan,” tutupnya.
Sementara itu, Prof Dr. Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) saat menjadi keynote speech menyampaikan komitmen negara terhadap perlindungan warganya dari kejahatan HAM semakin tinggi pasca reformasi.
“Setelah reformasi 1998, kita buat langkah baru melalui UU nomor 39 tahun 1999 untuk menegaskan bahwa negara sungguh-sungguh ingin memajukan HAM. Setahun kemudian, negara mengeluarkan UU nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM,” jelasnya.
Pemerintah juga menurut Mahfud telah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen HAM internasional, serta mengikuti konsep terbaru seputar isu HAM yang tidak lagi hanya melindungi warga negara dari kejahatan saja.
“Sedikitnya terdapat tiga generasi konsep perlindungan HAM. Pertama hak sipil dan politik. Kedua hak-hak terkait Ecosoc (ekonomi, sosial). berbicara jaminan kesehatan, pendidikan, sosial, budaya dan lapangan pekerjaan. Ketiga adalah hak penyelamatan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup, karena lingkungan hidup berkait erat dengan hak asasi dan keselamatan manusia,” jelas Mahfud.
Konsep tersebut menurut Mahfud telah menjadi bagian dari berbagai peraturan perundang-undangan yang ada dalam komitmen pemerintah terhadap perlindungan HAM saat ini. “Jadi kalau soal komitmen (negara), saya kira tidak bisa diragukan,” ungkap Mahfud.