Suara Tak Terdengar merupakan rubrik jurnalistik Kompas untuk mengangkat perjuangan kelompok yang terpinggirkan dalam struktur sosial, ekonomi maupun politik. Sejak Mei 2020, Suara Tak Tedengar rutin diangkat Kompas untuk menjangkau kelompok dengan tingkat ekonomi menengah ke atas dan pengambil kebijakan mengenai persoalan kelompok marjinal yang selama ini tak terlihat oleh mereka.
Rubrik Suara Tak Terdengar menjadi tema utama dalam Forum Ombudsman Kompas yang diadakan secara daring tanggal 24 Maret 2023. Forum diskusi yang melibatkan perwakilan jurnalis dari 4K (Harian Kompas, Kompas.com, Kompas TV dan Kontan) ini rutin diadakan untuk membahas berita-berita yang diangkat Group Kompas. KEMITRAAN sebagai organisasi dengan misi memajukan dan melembagakan tata kelola yang baik, memiliki perhatian khusus terhadap kelompok yang termarjinalkan, turut diundang untuk berpartisipasi dalam acara ini.
Laode M. Syarif, Direktur Eksekutif KEMITRAAN, mengapresiasi upaya Kompas yang telah bersusah payah membuat liputan yang menyuarakan suara-suara marjinal. “Terlebih, di tengah kondisi penurunan indeks demokrasi, sejalan munculnya political corruption dan lemahnya penegakan hukum di negeri ini,” ungkap Laode.
Beberapa contoh dari liputan Kompas bertema Suara Tak Terdengar seperti kaum pemulung (11-13 Mei 2020), nelayan (2-4 November 2020), gelandangan (1-3 Februari 2021), kaum miskin kota Jakarta (21-23 Juni 2021), pekerja migran (24-26 Januari 2022), ataupun liputan terbaru terkait kehidupan kuli angkut (13 Maret 2023). Liputan-liputan ini menunjukkan bahwa masih banyak ketidakberdayaan warga dalam menghadapi kehidupan.
Dalam sesi ini, Yasir Sani, Project Manager Estungkara dari KEMITRAAN, memaparkan beberapa usulan tema untuk diangkat dalam rubrik Suara Tak Tedengar. Estungkara sendiri merupakan sebuah program yang diampu KEMITRAAN yang bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang inklusif di Indonesia bagi masyarakat adat khususnya perempuan, anak, dan disabilitas serta kelompok minoritas lainnya.
“Salah satu topik yang menarik untuk diangkat adalah tentang tentang perjuangan perempuan adat di Nagekeo yang berjuang melawan korporasi dalam mempertahankan tanah leluhur yang merupakan sumber penghidupan mereka. Penolakan yang dilakukan para perempuan adat ini atas dasar upaya perjuangan mereka mempertahankan wilayah adat yang di dalamnya terdapat rumah, lahan pertanian, mata air, makam leluhur, tempat ritual-ritual, artefak, hingga mata pencaharian yang telah mereka warisi secara turun-menurun,” ungkap Yasir Sani.
Bastian dari Ombudsman Kompas, menyebutkan bahwa berbagai apresiasi dalam bentuk penghargaan jurnalistik sempat diraih dalam karya liputan tematis kaum marjinal ini, “Hanya saja apalah arti penghargaan, bila tidak ada perubahan yang terjadi bagi kelompok marjinal,” ujar Bastian.
Sebagai media, tujuan utama Kompas adalah menjangkau publik yang lebih luas. Namun Ketua Ombudsman Kompas, Ashadi Siregar mengakui bahwa perluasan tujuan dengan pola-pola advokasi dalam membela hak yang terpinggirkan dapat menjadi alternatif pilihan. Advokasi yang dimaksud adalah dalam kerangka efektivitas proses komunikasi yang terjalin antara Kompas, para audiens, dan para pemangku kepentingan.
Di sisi lain, KEMITRAAN sebagai organisasi masyarakat sipil memiliki fokus khusus terhadap advokasi kebijakan. Oleh karena itu forum ini, menjadi awal terbukanya kolaborasi untuk mendorong kesetaraan bagi kelompok yang terpinggirkan.
Tambahan sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/03/26/panggung-mereka-yang-terempas