Kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia bukan sesuatu yang baru, dan selalu berulang setiap tahunnya. Namun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, dalam dua atau tiga tahun terakhir kebakaran hutan kita relatif lebih terkendali. Hal ini menjadi salah satu kesimpulan dari paparan yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif KEMITRAAN, Laode M. Syarif, saat rapat dengar pendapat umum dengan Panja (Panitia Kerja) mengenai Pengendalian serta Penindakan Kebakaran Hutan dan Lahan – Komisi IV DPR RI tanggal 28 Juni 2021 lalu.
Menurut beliau, Karhutla dilakukan secara sengaja, “Tidak mungkin ujug-ujug hutan itu terbakar tanpa dibakar.” Dan ini juga menurut sosok yang dikenal sebagai mantan komisioner KPK, sudah disadari oleh Pak Presiden. “Presiden RI kelihatannya serius, sebagai sarjana kehutanan apa yang dikatakan oleh beliau, bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah ulah perusahaan. Yang kedua adalah masyarakat, dan yang ketiga adalah unsurnya, karena motif ekonomi dan melalui pembukaan lahan dengan cara bakar,” jelasnya di hadapan pimpinan sidang dan narasumber lain yang hadir secara daring maupun luring di ruang rapat.
Menurunnya jumlah kejadian Karhutla dipengaruhi oleh beberapa kebijakan, salah satunya adalah moratorium pemberian izin. Namun demikian menurut sosok yang juga dikenal sebagai ahli hukum lingkungan tersebut, untuk menekan angka Karhutla, perlu juga memperbaiki tata kelolanya. Terutama mengubah paradigma dengan mengedepankan pendekatan pencegahan. Selama ini karhutla kerap terjadi karena pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah sifatnya penanggulangan, bukan pencegahan. Hal ini terlihat dari sifat penggunaan dana di BNPB yang baru dapat digunakan saat sudah terjadi kebakaran, atau bersifat on-call dan menyebabkan proporsi penggunaan dana lebih besar pada penanggulangan. “Oleh karena itu kita harus fokus pada upaya pencegahannya, bukan pemadamannya,” terangnya.
Berdasarkan hasil temuan KEMITRAAN di lapangan, besarnya anggaran pemadaman cenderung tidak mampu memadamkan api, terutama di lahan gambut. Di banyak lokasi dampingan Kemitraan, api baru benar-benar mati setelah turun hujan. Persoalan selanjutnya menurut Syarif, pembagian kewenangan yang meletakkan isu kehutanan di level provinsi, dan bahkan menurut UU Cipta Kerja berada di pusat dapat menyulitkan program pencegahan, karena berkenaan dengan sistem penganggaran. Sementara persoalan pembakaran hutan itu terjadi di kabupaten/kota, dan bahkan desa.
Oleh karenanya, beliau meminta kepada anggota DPR untuk membuat kebijakan yang memungkinkan akses kepada desa untuk mengakses dana pencegahan. “Jadi tolong teman-teman di DPR, jangan uang pemadaman yang dibesarkan, tapi pencegahan. Dan uang pencegahan itu harus dapat diakses sampai di tapak,” harapnya.
Pembenahan selanjutnya yang harus diperbaiki adalah dari sisi penegakan hukum, khususnya terhadap korporasi belum berjalan secara optimal. Menurut beliau, aparat penegak hukum dari kepolisian dan kejaksaan sejauh ini belum memperhatikan isu Karhutla, sedangkan Gakkum KLHK (Penegakkan Hukum-Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) memiliki kemampuan yang terbatas untuk menangani kasus di seluruh negeri.
Persoalan yang juga tidak kalah penting untuk diperbaiki adalah kebijakan penggunaan dana desa. Permen Desa, PDTT (nomor 13/2020) memperbolehkan penggunaan anggaran DD untuk penanggulangan bencana termasuk karhutla, namun Permendagri nomor 20/2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa tidak menyediakan kode anggaran spesifik untuk pencegahan dan penanggulangan karhutla.
Masih menurut Syarif, kebijakan pencegahan perlu didukung oleh DPR dengan cara mengawal konsistensi kebijakan pemerintah. Karena kendati Inpres No. 11/2015 dan Inpres No. 3/2020 menyebut penanggulangan kebakaran hutan dan lahan meliputi aspek pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran, tetapi pada praktiknya upaya pengendalian masih lebih menitikberatkan pada pemadaman.
Di hadapan anggota komisi IV DPR RI dan narasumber lain, seperti Prof. Dr. Ir. Bambang Hero, M.Agr, Prof. Dr. Ir. Azwar Maas, M.Sc., dan perwakilan dari Yayasan Madani Berkelanjutan, GreenPeace Indonesia, dan Kaoem Telapak, Syarif menawarkan beberapa usulan perbaikan. Di antaranya meningkatkan secara signifikan program dan anggaran untuk kegiatan pencegahan, seperti: pembangunan sumur bor, penyediaan peralatan, pembasahan lahan gambut, memperkuat patroli dan sistem deteksi dini dan program pencegahan lainnya di level tapak.
Parlemen juga perlu membuat regulasi yang memungkinkan adanya penyediaan dana pencegahan karhutla kepada kabupaten/kota dan desa yang signifikan untuk membuat program pencegahan, termasuk sebagai bagian memperkuat keterlibatan elemen masyarakat di daerah. Salah satunya, dengan menyediakan dukungan biaya operasional dan sistem pembiayaan berkelanjutan kepada Masyarakat Peduli Api (MPA) di desa.
Parlemen perlu mendorong pemerintah agar mempromosikan praktek pengelolaan lahan tanpa bakar (PLTB) sebagai salah satu alternatif yang ditawarkan kepada petani, dan pemberian insentif yang signifikan kepada masyarakat yang mau menerapkan sistem PLTB (bantuan mekanisasi untuk pengolahan lahan, pengembangan sistem pertanian lahan basah dan lain-lain).
Terakhir, parlemen menurut Syarif, perlu mendorong regulasi dalam hal pembekuan aset dan eksekusi terhadap keputusan pengadilan yang telah inkrah, kepada perusahaan yang terbukti membakar hutan dan lahan.
Tonton selengkapnya partisipasi KEMITRAAN dalam RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) Karhutla dengan Komisi IV DPR.