Pandemi COVID-19 yang terjadi beberapa tahun ini, menjadi perhatian seluruh negara di dunia. Pasalnya, pandemi ini memberikan dampak yang sangat besar bagi seluruh aspek kehidupan manusia. Pandemi ini juga menjadi ujian berat bagi pemerintah. Belum lagi persoalan penanganan Pandemi COVID-19 yang kurang jelas dalam implementasinya, membuat masyarakat semakin mengeluhkan kondisi yang menimpa. Hal ini menggerakkan publik, organisasi dan lembaga masyarakat untuk bersama-sama mengawas penanganan Pandemi COVID-19.
Rifqi Sjarief Assegaf, Direktur Program DJGR (Democratic Justice Governance and Regionalization) KEMITRAAN mengatakan bahwa, “Partisipasi masyarakat sangat penting untuk mengawasi penanganan pandemi COVID-19 terhadap kebutuhan ekonomi dan kesehatan. Dua urgensi ini perlu dipastikan besarnya jumlah dana yang dialokasikan dan capaian penerima bantuan yang optimal serta kondisi darurat yang membutuhkan diskresi lebih luas,” ucapnya dalam Webinar Tantangan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Penanganan Pandemi COVID-19 yang dilaksanakan pada 24 Mei 2022.
Webinar ini merupakan kegiatan akhir dari program Boosting Rule of Law, Integrity, and Democratic Governance through Civic Engagement(BRIDGE) yang diinisiasi oleh KEMITRAAN dengan dukungan dari Australia Partnership for Justice (AIPJ2). Program BRIDGE ini sebelumnya memberikan pelatihan jurnalisme warga kepada perwakilan masyarakat sipil, mahasiswa, dan jurnalis di empat wilayah, yakni Medan, Surabaya, Denpasar dan Kendari. Hasil pengawasan penggunaan dana COVID-19 bagi masyarakat di daerah tersebut dan daerah lain kemudian didokumentasikan dalam sebuah buku berjudul Pembelajaran Jurnalisme Warga dalam Pandemi COVID-19 di Indonesia. (insert link)
Rifqi Sjarief Assegaf menambahkan bahwa masyarakat menghadapi banyak tantangan dalam pengawasan penanganan pandemi COVID-19. “Ada dua pendekatan yang menjadi tantangan partisipasi masyarakat. Pertama, pendekatan hukum yang mana digunakan untuk melakukan represi dan kriminalisasi. Kedua, pendekatan sosial media berupa pembajakan akun, doxing, bullying dan sebagainya. Kedua pendekatan tersebut memicu terjadinya regresi demokrasi dan lemahnya hukum di Indonesia.”
Tak hanya itu, pandemi COVID-19 juga berpotensi terjadinya penyimpangan dan korupsi, sebagaimana dijelaskan Almas Sjafrina dari Indonesian Corruption Watch (ICW). “Kasus pandemi yang langsung merebak luas, membutuhkan pemeriksaan yang cepat. Sehingga terjadi pengadaan barang dan jasa besar-besaran. Oleh sebab itu, sejak awal kami menyusun kajian terkait potensi korupsi pengadaan barang dan jasa.”
Ketika pemerintah membentuk Program Jaminan Sosial (PJS) atau mengeluarkan Bantuan Sosial (Bansos), juga ada potensi penyalahgunaan, seperti; pendataan yang semrawut atau penyaluran bansos yang rentan pungutan liar (pungli), tambah Almas.
Agus Sarwono dari Transparansi Internasional Indonesia menyebut, salah satu persoalan dasar yang menyebabkan tingginya korupsi adalah data. Sedari awal kasus ini ada di Indonesia, kita tidak punya data yang jelas terkait anggaran bantuan kesehatan. Rumah sakit mana saja yang menerima bantuan, berapa ratus ventilator atau oksigen yang dibutuhkan dan lain sebagainya. Dengan minimnya informasi, maka resiko terjadinya penyalahgunaan dana bantuan COVID-19 sangat besar.”
Berbagai ketidakjelasan perihal pengelolaan dana bantuan COVID-19 ini berkaitan juga dengan pengabaian hak-hak publik. Hal ini disampaikan oleh Hariman Satria dari Universitas Muhammadiyah Kendari. “Secara implisit, Hak Asasi Manusia (HAM) terabaikan lantaran masyarakat tidak diberikan akses informasi tentang penyiapan, pengelolaan, dan penggunaan anggaran COVID-19 di tiap-tiap daerah. Padahal ada Undang-Undang yang mengaturnya. Misalnya, Pasal 14 UU HAM & Pasal 4 ayat (2) jo Pasal 7 UU Keterbukaan Informasi Publik.”
Potensi penyelewengan dana bantuan dana COVID-19 juga terjadi di level daerah. Ketua Komite Pemantau Pengadaan Barang dan Jasa Banda Aceh, Irma Sari mengatakan bahwa, “Proyek pembangunan wastafel yang dicanangkan Dinas Pendidikan Provinsi Aceh belum berfungsi secara optimal. Banyak wastafel yang rusak, padahal publik membutuhkan sarana cuci tangan untuk mencegah penularan COVID-19.”
“Proyek ini dianggarkan pada tahun 2020 senilai Rp. 44.000.958.000,00 yang terbagi atas 390 titik. Namun, dikarenakan penggunaan yang tidak maksimal, ditemukan kerugian 6 juta di setiap titik, yang jika dikalikan 390 titik, maka total kerugian uang negara sekitar lebih dari 2 miliar. Alokasi dana bantuan berupa wastafel ini dari perencanaan sudah tidak sesuai, sehingga tidak ada kebermanfaatan yang signifikan bagi masyarakat.” tambahnya.
Senyatanya, peran masyarakat sangat penting dalam pengawasan penanganan COVID-19. Masyarakat sebagai aktor utama yang memiliki kedaulatan harus betul-betul memastikan partisipasi masyarakat tidak luntur untuk melakukan pengawasan maupun turut serta dalam pengambilan kebijakan. Indonesia sebagai negara demokrasi juga harus menjamin hak rakyat untuk menyatakan pendapat dan mendapatkan informasi.
Simak diskusi lengkapnya dalam Webinar Tantangan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Penanganan Pandemi COVID-19 berikut: