Sextortiom: Ketika Korupsi Melibatkan Eksploitasi dan Hubungan Seksual

Theodora Putri, Peneliti USAID INTEGRITAS, memaparkan tentang fenomena sextortion

Dalam kasus korupsi terdapat perkembangan baru yang melibatkan hubungan atau eksploitasi seksual terhadap perempuan. Perempuan seringkali menjadi ‘alat’ penyuapan atau ‘fasilitas’ gratifikasi dalam kasus korupsi. Seperti kasus di kampus berinisial UPR ketika salah satu mahasiswinya melaporkan dosen yang melakukan kekerasan seksual dengan ancaman nilai kuliahnya. 

Tapi sayangnya, fenomena ini seringkali tidak dilihat sebagai bagian dari tindakan korupsi. Korupsi selama ini hanya dianggap terjadi bila ada uang yang terlibat. Padahal korupsi yang melibatkan eksploitasi seksual punya pengaruh yang lebih besar terhadap korban daripada yang sekadar uang. Bukan saja tindakannya yang sangat melanggar harga diri dan HAM, tapi juga ada kemungkinan penularan penyakit, kehamilan dan seringkali korban disalahkan bahkan dikucilkan.

Sextortion merupakan hubungan transaksional ketika seks menjadi alat tukar untuk mendapatkan layanan, keuntungan atau barang terkait pelayanan publik. Kaitan sextortion dengan pelayanan publik ini selaras dengan definisi korupsi yaitu penyalahgunaan pelayanan publik untuk keuntungan pribadi.KEMITRAAN sebagai instansi yang sejak berdiri memiliki fokus khusus terhadap anti korupsi, memandang penting menganalisis lebih lanjut kaitan sextortion, konflik kepentingan, dengan tindak pidana korupsi. Melalui program USAID INTEGRITAS, KEMITRAAN sekarang ini sedang melakukan penelitian pertama di Indonesia yang menganalisis fenomena baru ini. Harapannya penelitian ini dapat memperkuat kerangka hukum untuk pencegahan dan penindakan sextortion dalam kaitannya dengan konflik kepentingan dan korupsi. 

Sebagai bagian dari rangkaian penelitian, KEMITRAAN bekerjasama dengan USAID, mengadakan diskusi publik Keterkaitan Hubungan/Eksploitasi Seksual, Konflik Kepentingan dan Tindak Pidana Korupsi pada 12 Januari 2023 di Makassar yang dilaksanakan secara hybrid. 

Laode M. Syarif, Direktur Eksekutif KEMITRAAN, dalam sambutannya menceritakan bahwa fenomena sextortion sebenarnya sudah ada sejak dulu. Hanya saja sulit untuk mendefinisikan fenomena tersebut. Laode juga mengutip penelitian dari Global Corruption Barometer Indonesia tahun 2020 yang dilakukan oleh Transparency International dan Transparency International Indonesia. Dalam penelitian tersebut, Indonesia memiliki prevalensi sextortion terbesar di Asia. 

Theodora Putri, peneliti USAID INTEGRITAS, memaparkan bahwa isu hubungan seksual dalam kasus konflik kepentingan atau korupsi sangat kompleks, terutama ketika terjadi secara konsensual. Karena ada salah satu pihak yang memiliki kekuasaan lebih besar. Theo juga mengusulkan bahwa sextortion tidak dilihat hanya sebagai korupsi atau kekerasan seksual. Tapi dilihat dalam kedua dimensi secara bersamaan. 

Dr. Syafruddin Kitta S.T., M.Si., Inspektur Pembantu Bidang Pencegahan dan Investigasi, Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan, mengakui bahwa sextortion umum terjadi tapi sulit terungkap. Potensi risiko terutama terjadi dalam hal pelayanan perizinan, pengelolaan keuangan dan manajemen aparatur sipil negara. Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk mengungkapkan kasus sextortion adalah adanya Peraturan Bupati untuk melindungi whistle blower. 

M. Aris Munandar, Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, memandang pentingnya membuat definisi sextortion lebih spesifik karena hukum pidana harus ditafsirkan secara sempit, bukan meluas untuk menghindari kekaburan. Ia melihat dalam pasal 13 UU TPKS, sextortion tersirat dalam hal perbudakan seksual. Kemudian dalam pasal 12B ayat 1 Pemberantasan Tindak Korupsi, dalam ada kalimat ‘fasilitas lainnya’ yang mungkin bisa dikaitkan dengan layanan seksual. Tapi Aris menyimpulkan masih terjadi kekosongan hukum dalam hal pengaturan sextorsi di Indonesia. Khususnya dalam konteks tindak pidana korupsi dan konflik kepentingan.

Ema Husain mewakili Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK), beberapa kali menerima aduan tentang sextortion yang tidak bisa diungkap karena korban seperti ditakut-takuti untuk jangan bicara karena akan mengancam masa depannya. Seperti kasus mahasiswi yang terancam tidak lulus bila mengadukan pelecehan seksual oleh dosennya. Salah satu rekomendasi dari SPAK untuk menghindari sextortion di lingkungan universitas adalah membuat aturan internal yang jelas untuk mengatur hubungan antara dosen, peneliti dan mahasiswa. Salah satu contohnya mahasiswa bimbingan skripsi dilakukan dalam ruang terbuka dan jam kerja di lingkungan kampus. 

Dalam acara ini, hadir pula secara virtual Shyamala Gomez, Direktur Eksekutif Centre for Equality and Justice di Srilanka. Shyamala mengungkap bahwa sextortion menjadi masalah yang krusial di negaranya. Organisasinya sudah berupaya membuat perubahan dalam hal ini sejak tahun 2015. Definisi yang digunakan adalah sexual bribery karena lebih mudah dimengerti oleh publik. Ada banyak pencapaian penting dari gerakan yang diusung oleh organisasinya. Di antaranya adalah membuat kampanye media sosial untuk penyadartahuan publik tentang fenomena penyuapan seksual. Kampanye ini dilakukan dalam tiga bahasa (Inggris, Sinhala dan Tamil) dan berhasil mencapai 3 juta audiens. Organisasinya juga berhasil mendokumentasikan kasus penyuapan seksual dalam sektor kesehatan dan peradilan. 

Di akhir diskusi, Theo memaparkan beberapa rekomendasi untuk fenomena sextortion, yaitu: 

1. Memperkuat kerangka legislatif untuk isu sextortion.

2. Sosialisasi meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bentuk kejahatan ini. 

3. Menyediakan sarana laporan efektif yang melindungi korban. 

4. Melakukan pengumpulan data yang kuat untuk mendorong strategi nasional pencegahan sextortion. 

Tim USAID INTEGRITAS saat ini masih menyelesaikan riset mengenai sextortion. Nantikan hasil risetnya dengan mengikuti media sosial dan newsletter KEMITRAAN

Tonton selengkapnya tayangan acara ini di bit.ly/USAIDINTEGRITAS12JAN23.

https://youtube.com/watch?v=1whw6JARnBs%3Fstart%3D1667
Categories: Tak Berkategori